BISAKAH BERTEOLOGI TANPA KITAB SUCI?
Sebuah ilmu lahir karena ada sesuatu yang ingin didalami atau diteliti lebih lanjut. Misalnya, ilmu antropologi merupakan studi atau kajian tentang manusia dari aspek fisik, budaya dan perilakunya; ilmu psikologi merupakan ilmu tentang jiwa ditinjau dari aspek proses mental dan kebiasaan. Lalu, bagaimana dengan teologi? Sebagai ilmu yang berusaha untuk menemukan pikiran Allah, dari mana teologi mendapat sumbernya? Pertama-tama kita perlu memahami terlebih dahulu apa itu teologi. Istilah “Teologi” berasal dari kata Yunani theologia yang berarti ilmu (logia) tentang Allah (Theos). Teologi dapat didefinisikan sebagai pengetahuan adikodrati yang metodis, sistematis dan koheren tentang sesuatu hal yang diimani sebagai wahyu Allah.[i]
Kebenaran yang dicari oleh teologi, yang direnungkan dan diuraikan olehnya bukanlah kebenaran yang dapat dibuktikan secara empiris belaka, melainkan kebenaran yang diterima dalam iman berdasarkan wahyu Allah namun tetap masuk akal. Apa yang diwahyukan Tuhan itu diterima manusia dalam iman karena Tuhanlah yang menyatakannya.[ii] Dengan kemampuan akal budinyalah manusia mencoba memahami hal-hal yang diwahyukan dan kemudian berusaha mengambil kesimpulan. Dengan demikian, apakah mungkin seseorang dapat berteologi tanpa menggunakan Kitab Suci? Apakah dengan menggunakan sumber dan dasar pengetahuan dari teks-teks yang lain yang bukan Kitab Suci seseorang tidak dapat berteologi? Misalnya hanya menggunakan artikel, surat kabar, jurnal, pantun, syair, dan lain sebagainya?
Ketika melakukan studi teologi, kita benar-benar berbicara dan harus memiliki pengetahuan tentang Allah. Jika kita tidak dapat berbicara tentang Allah atau memiliki pengetahuan tentang Allah, maka studi teologi menjadi mustahil untuk dapat dilakukan. Karena itu teologi sebagai ilmu tentu saja membutuhkan apa itu objek formal dan objek material sebagai sesuatu yang ingin digali dan didiskusikan. Objek formal dari studi teologi ialah sudut pandangan dari suatu agama, yakni bagaimana cara suatu agama itu merenungkan dan merefleksikan Allah yang diimaninya. Sedangkan objek material dari studi teologi ialah apa yang diwahyukan Allah yang tentunya terdapat dalam Kitab Suci.[iii] Kalau teologi Katolik berarti menggunakan sudut pandang Gereja Katolik dan Kitab Suci sebagai objek materialnya. Dari objek material inilah sudah mulai tampak bahwa teologi tanpa Kitab Suci itu tidak mungkin.
Kitab Suci bukanlah buku yang didiktekan atau ditulis oleh Tuhan. Kitab Suci merupakan ungkapan iman umat Israel dan terutama iman Gereja perdana. Oleh iman itu, pengarang suci bersatu dengan Allah dan menuliskan apa yang diwahyukan oleh Tuhan.[iv] Karena itu, pemahaman teologi bergantung pada pemahaman mengenai wahyu. Kalau wahyu diartikan sebagai kata atau pesan dari surga, maka teologi terbatas pada arti kata-kata dari Kitab Suci dan mempertimbangkan tindakan yang sesuai dengan Kitab Suci. Tetapi teologi terutama harus menggali siapakah Allah dan manakah karya-Nya.[v] Wilfrid Harrington dalam bukunya Scripture as the Soul of Theology berpendapat bahwa melalui studi tulisan suci, pemahaman teologisnya telah sangat dipengaruhi dan diperkaya.[vi]
Menurut Thomas P. Rausch dalam bukunya yang berjudul Catholism, At The Dawn of The Third Millennium, Kitab Suci dipandang sebagai tulisan-tulisan suci karena dalam kitab-kitab itu Gereja mengenal suara Tuhannya.[vii] Dalam Kitab Suci-lah, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, hendak digali bagaimana Kitab Suci itu berbicara tentang Allah sehubungan dengan keselamatan manusia. Bicara Kitab Suci berarti manusia berbicara tentang Allah. Jadi, apa yang mau digali dari Kitab Suci ialah kesaksian umat beriman tentang keselamatan manusia dalam kaitannya dengan Allah.
Hal ini semakin diperkuat dengan dokumen Konsili Vatikan II Dei Verbum art. 24 tentang pentingnya Kitab Suci bagi teologi:
“Teologi suci bertumpu pada sabda Allah yang tertulis, bersama dengan Tradisi suci, sebagai landasannya yang tetap. Di situlah teologi amat sangat diteguhkan dan selalu diremajakan, dengan menyelidiki dalam terang iman segala kebenaran yang tersimpan dalam rahasia Kristus. Adapun Kitab Suci mengemban sabda Allah, dan karena diilhami memang sungguh-sungguh sabda Allah. Maka dari itu pelajaran Kitab Suci hendaklah bagaikan jiwa Teologi suci.”[viii]
Pewahyuan khusus terjadi dalam pribadi Kristus dan pewahyuan lain yang dibukukan dalam Kitab Suci dan dimengerti Gereja.[ix] Maka tidak ada teologi yang tidak mempergunakan Kitab Suci dan Tradisi Gereja sebagai dasar dan penentu kebenaran. Menurut Paus Benediktus XVI, Gereja hidup, bergerak, dan terbentuk dari Sabda Allah—yang melalui-Nya segala sesuatu diciptakan sejak awal mula, wajah Allah diwahyukan dalam daging Yesus Kristus, dan perjanjian baru Allah ditulis dalam teks-teks Kitab Suci yang diilhami dan dihadirkan dalam liturgi suci.[x]
Koherensi Kitab Suci dan Tradisi yang ditafsirkan adalah objek utama studi teologi.[xi] Tradisi mengolah dan memperdalam ungkapan iman yang terdapat dalam Kitab Suci. Melalui Tradisi, pengalaman iman sebagaimana yang dirumuskan dalam Kitab Suci selalu aktual dan mempunyai arti bagi zaman sekarang dan senantiasa harus dibaca, direnungkan, dan dimengerti secara baru.[xii] Hubungan antara Kitab Suci dan Tradisi adalah hubungan yang sangat mempengaruhi studi teologi. Karena teolog selalu dihadapkan pada masalah bagaimana seseorang memandang ajaran-ajaran penting dari Kitab Suci dan membiarkan berkembangnya ajaran seperti itu ketika berkembang menjadi bentuk-bentuk yang lengkap.[xiii] Adapun juga wewenang mengajar yang diberikan kepada para uskup (Magisterium), yang membimbing proses permenungan dan pemahaman sabda Allah, sehingga umat seluruhnya tidak dapat sesat dalam beriman.[xiv]
Kesimpulannya, teologi selalu mendapatkan sumber dan dasar pengetahuan dari Kitab Suci, bersama Tradisi dan Magisterium. Tidak dapat dimungkinkan bahwa teologi berbicara tentang Allah kalau teologi sendiri tidak didasari dengan pengetahuan tentang Allah yang tampak dalam Kitab Suci. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa tanpa Kitab Suci teologi akan mati. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari Santo Hieronimus yang mengatakan bahwa: “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus.”[xv] Oleh karena itu, keterbukaan terhadap Kitab Suci memang memberi kehidupan dan kehangatan bagi teologi kita.[xvi]
“Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus.”
(2 Tim 3:15)
[i] Bdk. Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi, Yogyakarta: PT Kanisius, 1991, hlm. 17
[ii] Bdk. Ibid. hlm 33.
[iii] Bdk. Ibid. hlm 34.
[iv] Bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakart: PT Kanisius, 1996, hlm. 215.
[v] Bdk. JB. Banawiratma, Wahyu Iman Kebatinan, Yogyakarta: PT Kanisius, 1986, hlm. 28.
[vi] Bdk. Wilfrid Harrington, dkk, Scripture as the Soul of Theology, Minnesota: Liturgical Press, 2005, hlm. 84.
[vii] Bdk. Thomas P. Rausch, Catholism, At The Dawn of The Third Millennium(penerj. Agus M. Hardjana), Yogyakarta: PT. Kanisius, 2001, hlm. 122.
[viii] Bdk. Dei Verbum §24, hlm. 21.
[ix] Bdk. JB. Banawiratma, op.cit., hlm. 29.
[x] Bdk. Scott W. Hahn, Teologi Alkitabiah Paus Benediktus XVI(Penerj. A.S. Hadiwiyata), Jakarta: Fidei Press, 2011, hlm. 2.
[xi] Bdk. Joseph A.Fitzmyer, Scripture, The Soul of Theology, Mahwah: Paulist Press, 1994, hlm. 72.
[xii] Bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, op.cit., hlm. 215.
[xiii] Bdk. Joseph A.Fitzmyer, op.cit., hlm. 80.
[xiv] Bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, op.cit., hlm. 216.
[xv] Bdk. Kompendium Katekismus Gereja Katolik, hlm. 21.
[xvi] Bdk. Wilfrid Harrington, dkk, op.cit., hlm. 89.