Perayaan 70 tahun Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo, Garum, Blitar pada tahun 2018 ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengkaji figur amat penting dalam proses berdirinya Seminari, yaitu Rm. Ignatius Dwidjosoesastro, CM. Tulisan ini sendiri saya fokuskan pada peran Rm. Dwijo dalam proses pendirian tersebut, yaitu  sebagai “perintis” Seminari. 

Istilah “Perintis Seminari” saya simpulkan untuk mendefinisikan peran Rm. Dwidjo bagi Seminari pada saat saya, sebagai rektor, menyusun Pedoman Seminari di tahun 2007. Pedoman ini (bersampul kuning, di samping Tata Hidup Siswa bersampul biru) selesai seluruhnya ketika saya sudah bertugas sebagai Vikjen Keuskupan Surabaya. Pengantar ditandatangani oleh Rm. Cosmas Senti Fernandez sebagai Rektor pada tanggal 8 Januari 2018, dan ditetapkan oleh Bapak Uskup Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono tanggal 1 Mei 2008.  

Saya memilih sebutan “perintis” bagi Rm. Dwidjo setelah menyebut Mgr. Verhoeks, Vikaris Apostolik Surabaya saat Seminari berdiri tahun 1948, sebagai “Pendiri Seminari”. Demikianlah pada Pedoman Seminari tahun 2008 no. 14 tertulis: “Perintis Seminari adalah Rm. Ignatius Dwidjasoesastra CM (1910-1975)”, sedangkan pada no. 13 disebutkan: “Pendiri Seminari adalah Mgr. Michael Verhoeks CM (1893-1952)”. 

Sebutan-sebutan ini saya pilih disertai kesadaran bahwa dengan cara ini saya meninggalkan pandangan yang sebelumnya saya ikuti, yang menyebut Rm. Dwidjo sebagai “pendiri” Seminari. Sekarang, setelah 10 tahun, saya masih berpandangan bahwa istilah “Perintis Seminari” merupakan istilah paling tepat menggambarkan peran beliau bagi Seminari Garum. 

Saat ini saya mengira, sebutan Rm. Dwidjo sebagai “Pendiri Seminari” mulai digunakan sekitar tahun 1998, pada peringatan 50 tahun Seminari. Peringatan itu sendiri masih terlacak jejaknya dalam wujud Buku Kenangan Seminari Menengah Keuskupan Surabaya St. Vincentius a Paulo 50 Tahun (1948-1998), yang juga memuat artikel perjalanan sejarah Seminari yang disusun oleh seminaris Stephen W. dan Budi Nawanta, Kelas III IPA. Di situ diungkapkan bahwa Rm. Dwidjo “berinisiatif untuk memusatkan pendidikan imam di Keuskupan Surabaya di suatu tempat”, “mendirikan tempat pendidikan imam”. Ungkapan-ungkapan itu dimaksudkan untuk menjelaskan peristiwa kedatangan Rm. Dwidjo bersama dengan 8 pemuda calon imam di Pastoran Kepanjen, Surabaya pada “hari jadi” Seminari, tanggal 29 Juni 1948.  

Dalam kaitan dengan itulah di sini saya mencoba menyampaikan alasan saya menyebut Rm. Dwidjo sebagai “Perintis Seminari”, di samping Mgr. Verhoeks sebagai “Pendiri Seminari”. Secara singkat alasan itu sudah dijelaskan dalam Pedoman Seminari, namun dengan menyampaikan secara lebih terurai, saya berharap alasan itu kian terpahami.

Lebih jauh saya berharap bahwa dengan kajian ini, semangat keperintisan Rm. Dwidjo, yang mencerminkan jiwa pastoral dan misioner seorang imam saat Gereja menghadapi tantangan berat, dapat diteladani di masa Gereja menghadapi tantangan-tantangan saat ini. Dalam bahasan ini juga terdapat beberapa aspek historis yang belum terjawab terkait karya keperintisan Rm. Dwidjo bagi pembinaan calon imam di Vikariat Apostolik, yang kemudian menjadi Keuskupan Surabaya. Dengan melihat adanya hal-hal yang belum tuntas dari segi kajian historis diharapkan lebih terasa kompleksitas dan dinamisnya situasi yang melahirkan Seminari tercinta ini.

 

Perkenalan dengan “Bapak Pendiri Seminari”

Saya bertugas sebagai rektor Seminari Garum tahun 2000-2007. Saat baru tiba di Seminari, saya menata kamar yang akan saya tempati. Dalam proses itu saya menemukan gambar foto Rm. Ignatius Dwidjosoesastro, CM, ditempatkan dalam pigura. Pada gambar terdapat keterangan: “Imam Lasaris Indonesia pertama” dan “Bapak Pendiri Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo”. Juga tercantum tempat tanggal lahir, tempat tanggal wafat, dan tempat tanggal tahbisan imam.

Spontan temuan ini menimbulkan antusiasme saya, baik sebagai rektor baru maupun sebagai peminat sejarah. Romo-romo di Seminari juga menyampaikan satu dua hal tentang kisah yang membuat Rm. Dwidjo disebut “pendiri Seminari”. Karena sosoknya saya rasa penting untuk membantu penghayatan saya sebagai rektor, maka foto tersebut saya taruh di kamar, di posisi paling mudah dan paling sering dilihat. Demikianlah beliau menemani saya selama 7 tahun. 

Ketertarikan saya akan figur Rm. Dwidjo membuat saya ingin menggali informasi tentang dirinya. Ketika ada kegiatan di Madiun, tempat beliau berasal, saya mencari informasi tentang keluarganya. Dan ternyata memang masih ada keluarga Rm. Dwidjo di sana. Rm. Lukas Suwondo, CM, yang pernah menyaksikan kiprah beliau ketika Rm. Lukas masih sebagai calon imam, saya minta untuk menuliskan kesan-kesannya tentang Rm. Dwidjo. Kesan-kesan itu diserahkan oleh Rm. Lukas dalam bentuk selembar kertas ketikan komputer, yang saya simpan sampai sekarang. 

Perjumpaan kembali dengan Rm. Dwidjo terjadi ketika saya menulis sejarah Yayasan Yohanes Gabriel dalam rangka ulang tahunnya ke 80 tahun 2005. Dalam buku Mendidik Anak Bangsa itu Rm. Dwidjo muncul ketika saya menyajikan situasi Keuskupan Surabaya setelah Perang Dunia II, khususnya berkenaan dengan pendirian Seminari Menengah di Surabaya. Peristiwa itu saya tulis dalam satu paragraf, bersumber dari Rm. P. Boonekamp, CM, “Sejarah Gereja Katolik di wilayah Keuskupan Surabaya”, dalam Sejarah Gereja Katolik Indonesia 3b, Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Waligereja Indonesia, Jakarta, 1974, hlm. 972-998. 

Saya tulis di hlm. 168-169: “Pendirian seminari ini terasa dramatis, karena terjadi pada saat Gereja dalam kesulitan. Pendirian ini terjadi karena ‘fait accompli’ oleh Rm. Dwidjasoesastra CM, Vicarius Delegatus daerah Republik. Beliau memboyong 8 seminaris Vikariat Apostolik Surabaya dari Yogyakarta, Kediri, Blitar dan Madiun menuju Surabaya. Mereka berjalan kaki melintasi garis demarkasi Mojokerto, malam hari lewat rel kereta api. Semula, sebagian dari mereka bersekolah di Jawa Tengah atau sekedar diberi pendidikan di pastoran. Rombongan tiba di Pastoran Kepanjen pada 29 Juni 1948, dan tanggal ini dipandang sebagai hari berdirinya seminari.”

Penyebutan nama Rm. Dwidjo saya lakukan kembali waktu menulis profil Seminari Garum dalam rangka penerbitan buku Profil Seminari Menengah Indonesia oleh Komisi Seminari KWI. Profil itu saya tulis tahun 2006, sementara bukunya terbit tahun 2007. Di situ tertulis tanggal berdirinya Seminari Garum pada Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, 29 Juni 1948, dan nama pendiri Rm. Ignatius Dwidjasoesastra CM. Dengan demikian, sampai dengan saat itu, saya tetap menempatkan Rm. Dwidjo sebagai “Bapak Pendiri Seminari”.

 

Perintis Seminari

Pada tahun 2006-2007 saya dan para romo menyempurnakan Tata Hidup Siswa Seminari Garum. Buku ini selesai dan saya beri pengantar bertanggal 29 Juni 2007, saat pergantian rektor dari saya ke Rm. Cosmas Senti Fernandez. Buku ini direvisi saat Rm. Stefanus Cahyono menjadi rektor, dengan pengantar tanggal 26 September 2011. Selain itu saya mempersiapkan Pedoman Seminari, yang baru selesai tahun 2008, saat sudah menjadi Vikjen.

Berkenaan dengan penulisan Pedoman Seminari, secara alamiah saya mencari rujukan dari berbagai sumber. Selain dokumen Seminari, sumber utama tentulah dokumen Gereja, khususnya dekrit Konsili Vatikan II tentang pembinaan imam Optatam Totius, Kitab Hukum Kanonik 1983 dan anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II Pastores Dabo Vobis (1992). Dari kajian dokumen ini saya berkesimpulan bahwa Rm. Dwidjo tidak dapat disebut sebagai “Pendiri Seminari”, tetapi amat layak disebut sebagai “Perintis Seminari”. Itu saya cantumkan dalam buku Pedoman Seminari, sementara sebagai “Pendiri Seminari” tertulis Mgr. M. Verhoeks. 

Beberapa informasi pokok saya uraikan pada Pedoman no. 33, dengan rincian berikut:

No. 33.a., tentang “Cita-cita Pendirian Seminari”, tertulis: “Pendirian Seminari sejak semula merupakan harapan para misionaris yang berkarya di wilayah Prefektur Apostolik (lalu Vikariat Apostolik) Surabaya, sebagai ‘puncak segala karya misi’. Pendirian Seminari merupakan cita-cita Prefek Apostolik Mgr. Theopliel de Backere CM (1882-1945) dan pengganti beliau, Vikaris Apostolik Mgr. Michael Verhoeks CM (1893-1952). Pendirian Seminari selama periode misi tertunda karena krisis ekonomi dan perang. Sesudah Perang Dunia II, cita-cita ini menjadi lebih mendesak. Gereja Indonesia sendiri didesak oleh Delegatus Apostolik (Utusan Paus) agar tidak menunda-nunda pendirian seminari menengah di daerah yang belum memilikinya.”

No. 33.b., tentang “Perintis Seminari”, tertulis: “Perintis berdirinya Seminari adalah imam CM pribumi pertama, Rm. Ignatius Dwidjasoesastra CM (1910-1975). Beliau pada 1946-1949 bertugas sebagai Pastor Paroki St. Vincentius Kediri, dan oleh Vikaris Apostolik, Mgr. Michael Verhoeks, CM, ditunjuk sebagai Vicarius Delegatus (Utusan Vikaris) untuk wilayah Vikariat yang saat itu dikuasai oleh Republik Indonesia.”

No. 33.c., tentang “Pendirian Seminari”, tertulis: “Mengikuti norma-norma Hukum Gereja, Seminari dari segi sahnya didirikan oleh Mgr. Michael Verhoeks, CM, sebagai Vikaris Apostolik Surabaya saat itu. De facto Seminari ‘didirikan tanpa peresmian’ dengan tibanya Perintis Seminari, Rm. Ignatius Dwidjasoesastra CM bersama 8 pemuda calon imam dari wilayah Vikariat Apostolik Surabaya yang dikuasai oleh Republik, di pastoran Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria, Kepanjen, Surabaya, pada 29 Juni 1948, Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, saat Revolusi Kemerdekaan RI. Kedatangan Perintis dan para ‘seminaris awal’ yang mengejutkan ini mendapat sambutan positif dari para imam dan Vikaris Apostolik di Surabaya, hingga selanjutnya tanggal 29 Juni 1948 itu dinyatakan sebagai hari berdirinya Seminari.”

Tampak, implisit tetapi cukup jelas, bahwa saya menyebut Rm. Dwidjo sebagai “Perintis Seminari” karena dalam kapasitasnya sebagai seorang imam, beliau melakukan karya-karya persiapan bagi berdirinya suatu seminari. Meski sebelumnya saya memakai sebutan “Pendiri Seminari”, tetapi akhirnya saya menyadari bahwa sebutan itu tidak dapat dipakai lagi. Dalam hal ini saya “mengikuti norma-norma Hukum Gereja”, khususnya Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 Kan. 234 - par. 1 beserta kanon/paragraf setelahnya. Saya berasumsi bahwa “dari segi sahnya” pendiri seminari adalah uskup, dalam hal ini adalah Mgr. Michael Verhoeks CM, Vikaris Apostolik Surabaya saat itu. Sementara Kan. 233 - par. 1 dan 2 berharap bahwa para imam, bersama uskup, memperhatikan para laki-laki yang memiliki benih panggilan.

Hukum Gereja yang saat itu berlaku, yaitu KHK 1917 Kan. 1354 - par. 1, sendiri berkata: “setiap keuskupan hendaknya memiliki Seminari atau kolese di tempat yang tepat yang dipilih oleh Uskup” (Unaquaeque diocesis in loco convenienti ab Episcopo electo Seminarium seu collegium habeat). Sementara, tentang para imam, KHK 1917 Kan. 1353 berkata: “para imam, khususnya para pastor paroki, hendaknya berusaha untuk menjaga anak-anak lelaki, yang menunjukkan tanda-tanda panggilan gerejawi, dari pengaruh duniawi dengan perhatian khusus, membina ke arah kesalehan, menyediakan pendidikan dengan bahan-bahan belajar awal serta memupuk benih panggilan ilahi dalam diri mereka” (Dent operam sacerdotes, praesertim parochi, ut pueros, qui indicia praebeant ecclesiasticae vocationis, peculiaribus curis a saeculi contagiis arceant, ad pietatem informent, primis litterarum studiis imbuant divinaeque in eis vocationis germen foveant.).

Karena merujuk pada kelaziman kanonik tentang tugas uskup dan imam bagi pembinaan calon imam di ataslah saya mengartikan tindakan Rm. Dwidjosoesastro dalam rangka pendirian Seminari sebagai “tindakan keperintisan”. Upaya beliau sebagai Utusan Vikaris untuk menghimpun benih panggilan di wilayah tugas yang dipercayakan kepadanya, hingga akhirnya mengantar mereka ke Surabaya untuk memperoleh pembinaan sebagai calon imam adalah “tindakan keperintisan”. “Tindakan” ini dimulainya sejak ia bertugas sebagai Utusan Vikaris bertempat di Kediri, berpuncak pada saat ia melintasi garis demarkasi bersama 8 pemuda menuju Surabaya untuk menyerahkan pembinaan mereka sebagai calon imam kepada Vikaris Apostolik dan romo-romo di Surabaya. 

Rm. Dwidjo melanjutkan karyanya bagi pembinaan calon-calon imam secara lebih intensif, khususnya ketika ia bertugas sebagai Pastor Paroki St. Cornelius Madiun pada tahun 1949. Beliau membuka asrama bagi anak-anak muda yang dipersiapkan untuk masuk Seminari Surabaya, sesuai kesaksian Rm. Prof. Dr. John Tondowidjojo CM, murid dan anak rohani Rm. Dwidjo, di beberapa buku yang ia terbitkan. Terakhir, kesaksian Rm. Tondo muncul dalam Jejak Langkah Hidup Imamat, CTC Sanggar Bina Tama Surabaya, Penerbit Kanisius 2018, hlm. 32-39. 

Dengan gambaran ini, Rm. Dwidjo menurut saya layak disebut “perintis pembinaan calon imam”. Termasuk “perintis” pendirian Seminari St. Vincentius a Paulo, dan pendukung utama Seminari Vikariat Apostolik/Keuskupan Surabaya dengan terus mengirimkan calon-calonnya. Selayaknya pula ia menjadi icon, tonggak penting karya misi di bidang pembinaan calon imam.

 

Peristiwa 29 Juni 1948

Delapan calon imam yang dibawa oleh Rm. Dwidjo ke Surabaya tanggal 29 Juni 1948 itu, menurut Rm. J. Wolters CM dalam John Tondowidjojo, Historiografi Keuskupan Surabaya I, Regio I Kevikepan Surabaya Utara, CTC Sanggar Bina Tama Surabaya 2016, hlm. 155, “ternyata semuanya pemuda-pemuda Jawa dan berasal dari daerah kami sendiri”. Maksudnya, dari Vikariat Apostolik Surabaya. Mereka terdiri dari 5 siswa yang telah memulai studi mereka di Yogyakarta, dan kini pembinaan mereka dipindahkan ke Surabaya. Mereka adalah: A. Harjatmo, J. Harjanto, R. Sutarno, B. Soerjadi dan S. Soenarjo. Bersama mereka bergabung 3 calon siswa. 

Rm. Boonekamp CM dalam Sejarah Gereja Katolik hlm. 997 menuturkan: “Antara tahun 1946-1948 pastor Dwidjasoesastra bertugas sebagai Wakil Vikaris di daerah kekuasaan Republik Indonesia. Atas usahanya maka beberapa pemuda waktu itu mulai mendapat pendidikan seminari. Mereka itu adalah pelajar-pelajar SMP di Yogyakarta, Kediri, Blitar atau Madiun. Di samping mengikuti pelajaran SMP, mereka juga mendapat pelajaran khusus dalam bahasa Latin di pastoran. Pada tanggal 26 Juni 1948 sejumlah 8 orang pelajar-pelajar tersebut dikumpulkan dan melalui garis demarkasi “diboyong” ke Surabaya. Tanggal 29 Juni mereka sampai di pastoran Kepanjen. Tanggal 29 Juni itu dipandang sebagai tanggal permulaan dibukanya (dimulainya) sekolah seminari menengah. Di pastoran Kepanjen lalu dimulai dengan apa yang disebut pendidikan seminari kecil, sejalan-jalannya dengan tenaga-tenaga pengajar para pastor yang diam di pastoran itu”.

Peristiwa ini oleh Rm. Boonekamp CM disebut “semacam ‘fait accompli’” yang “akhirnya membuka jalan ke arah berdirinya sekolah seminari menengah di wilayah keuskupan sendiri.” Sedangkan Rm. Wolters berkata: “Secara tiba-tiba datang Rm. Ign. Dwidjasoesastra CM pada hari raya rasul Petrus dan Paulus pada tanggal 29 Juni 1948 bersama dengan delapan calon pertama untuk Seminari kami”. Dalam Mendidik Anak Bangsa dan Pedoman Seminari 2008, Saya sendiri mengikuti pandangan ini untuk memahami peristiwa tersebut.

Rm. Boonekamp menyebut peristiwa ini semacam fait accompli karena memandang Rm. Dwidjo mengambil inisiatif tanpa memberi pilihan bagi orang-orang lain untuk berpikir dan memutuskan. Keputusan ini mau tidak mau harus diterima dan ditindaklanjuti, karena para siswa sudah datang dan sudah siap untuk menerima pembinaan. 

Hari itu, tanggal 29 Juni 1948, adalah hari raya penting Gereja, dan “dipandang sebagai tanggal permulaan dibukanya (dimulainya) sekolah seminari menengah”. Dalam bahasa yang lebih mudah disebut “tanggal pendirian”. Kenyataannya, tanggal itu bukanlah tanggal yang ditetapkan melalui suatu dekrit, tetapi “tanggal providensial”, yang dipilih untuk dikenang karena nilainya yang providensial, “Allah sendiri yang menyelenggarakan”. Maka dalam Pedoman Seminari saya katakan: “de facto Seminari ‘didirikan tanpa peresmian’”.

Hal lain yang penting untuk dicatat dalam peristiwa ini adalah asal-usul para seminaris: “Mereka adalah pelajar-pelajar SMP di Yogyakarta, Kediri, Blitar dan Madiun”. Keragaman asal paroki ini kiranya memberi gambaran tentang koordinasi pastoral yang dijalankan oleh Rm. Dwidjo selaku Delegatus Vicarius, termasuk dalam memupuk panggilan dan memberi perhatian pada calon imam di wilayah Republik. Namun ditinjau dari sisi yang lain, justru keberagaman asal paroki ini menunjukkan bahwa dalam seluruh peristiwa kita tidak hanya bertemu dengan satu tokoh yang bekerja seorang diri saja. Peristiwa ini adalah buah dari suatu karya yang terkoordinasi di antara para imam di paroki-paroki Kediri, Blitar dan Madiun, bahkan dengan romo-romo di Yogyakarta, dengan Rm. Dwidjo sebagai pelaku utamanya.

Meskipun beberapa hal dapat diketahui, masih diperlukan data tentang proses yang akhirnya menghasilkan keputusan membawa para seminaris Vikariat Apostolik Surabaya dari Yogyakarta ke Surabaya. Apakah keputusan ini diambil melalui pembicaraan dengan romo-romo paroki Kediri, Madiun dan Blitar? Lumrahnya demikian. Tetapi masih diperlukan bukti. Apakah keputusan ini melibatkan Vikaris Apostolik di Surabaya? Ataukah sebutan fait accompli, keadaan memaksa yang harus diterima, berlaku bukan hanya bagi romo-romo di pastoran Kepanjen, tapi juga bagi Mgr. Verhoeks selaku atasannya dan pimpinan Vikariat?  Belum ada bukti untuk memastikan.

Hal lain perlu dicatat berkenaan dengan alasan kepindahan. Pada saat itu di Indonesia terdapat urgensi untuk mendirikan seminari sendiri sebagai prioritas misi. Hal ini dirasakan oleh para misionaris maupun otoritas yang mengutus mereka. Delegatus Apostolik, utusan Paus untuk Indonesia, menurut Rm. Wolters, mendesak semua pimpinan Gereja di Indonesia, “untuk tidak menunda-nunda mendirikan Seminari-Seminari Menengah, di mana belum ada”. 

Bagi pimpinan Gereja dan misionaris di Vikariat Apostolik Surabaya, desakan ini tentu menguatkan urgensi untuk segera menyelenggarakan seminari di Surabaya. Urgensi ini sendiri dirasakan oleh Mgr. Verhoeks selaku Vikaris Apostolik, sehingga ia memprioritaskan pendirian seminari  menengah sendiri begitu ia ditetapkan sebagai Prefek Apostolik tahun 1938.

Dalam Sejarah Gereja Katolik, hlm. 977 tertulis: “Dalam laporan pertamanya kepada Propaganda Fide tanggal 18-10-1938 Prefek Verhoeks mengemukakan rencana, untuk membuka seminari menengah sendiri ‘seperti sudah saya terangkan dalam surat saya tanggal 15 September yang lalu’. Tetapi dalam tahun 1941 Mgr. Verhoeks terpaksa mengabarkan, bahwa rencana tersebut tidak jadi dilaksanakan, ‘Sebab imam-imam baru yang mestinya datang dari Negeri Belanda, di antaranya seorang imam Jawa, tidak dapat berangkat meninggalkan Nederland.’”

Para imam tersebut tidak dapat berangkat karena di Eropa Perang Dunia II telah berkobar. Jerman menginvasi Belanda dan Belanda menyerah tanggal 15 Mei 1940, setelah pengeboman Rotterdam. Dari para imam tersebut, “di antaranya seorang imam Jawa”. Pasti yang dimaksud adalah Rm. I. Dwidjosoesastro, yang masuk CM tanggal 7 September 1933 dan ditahbiskan tanggal 21 Juli 1940 di Helden-Panningen. Rupanya sejak sebelum tahbisan ia telah menjadi bagian dalam rencana Mgr. Verhoeks berkenaan dengan pendirian seminari. 

Masih dalam laporan yang sama Mgr. Verhoeks menambahkan: “Siswa-siswa seminari kita mengikuti pelajaran di seminari Mertojudan dan Yogyakarta”. Sementara Rm. Boonekamp berkata: “Sementara itu Surabaya ikut memberi sumbangan cukup banyak bagi pembiayaan ongkos-ongkos pemeliharaan seminari Mertojudan”. 

Jadi sebelum Jepang masuk ke Indonesia sudah terdapat seminaris dari Vikariat Apostolik Surabaya yang dibina di Seminari Menengah Mertoyudan dan Seminari Tinggi Yogyakarta, yang oleh Mgr. Verhoeks disebut “siswa-siswa seminari kita”.  Mereka juga merupakan tanggung jawab Vikariat Apostolik Surabaya, karena itu “Surabaya ikut memberi sumbangan cukup banyak bagi pembiayaan ongkos-ongkos pemeliharaan seminari  Mertojudan”.

Dengan data di atas, dapat diduga bahwa pada masa perang kemerdekaan itu para seminaris, baik Seminari Menengah maupun Seminari Tinggi, juga berada di bawah tanggung jawab Vikariat Apostolik Surabaya. Lima pemuda yang “diboyong” ke Surabaya adalah seminaris Vikariat yang diurus oleh Rm. Dwidjo, sebagai Utusan Vikaris yang dapat bergerak leluasa sampai Yogyakarta. 

Dengan data di atas, kita bisa bertanya tentang hal yang lebih praktis soal penyelenggaraan pembinaan. Mungkinkah ditariknya para siswa dari Yogyakarta juga terkait dengan persoalan praktis, misalnya masalah ekonomi atau pembiayaan? Atau terkait masalah keamanan dan ketenangan belajar, karena Yogyakarta saat itu merupakan sasaran serangan militer Belanda? Bagaimanapun hal-hal di atas layak dipertimbangkan.

Permasalahan-permasalahan di atas mungkin bisa dipikirkan sendiri oleh Rm. Dwidjo. Tetapi bisa juga diperlukan konsultasi. Artinya, terbuka kemungkinan adanya diskusi antara Rm. Dwidjo dengan rekan imam di wilayah Republik, atau dengan penanggung jawab Seminari di Yogyakarta, bahkan dengan Mgr. Verhoeks sendiri, hingga akhirnya semua seminaris Vikariat Apostolik Surabaya dibawa oleh Rm. Dwidjo “bedol deso” dari Yogyakarta menuju Surabaya.

Dengan beberapa pertanyaan dan kemungkinan di atas, tampak bahwa berbagai aspek kepindahan seminaris Vikariat Apostolik Surabaya dari Yogyakarta ke Surabaya tahun 1948 itu belum sepenuhnya terjelaskan. Kita belum menangkap penuh aspek subjektif tokoh-tokohnya, terutama intensi dan pertimbangan yang mendasari keputusan mereka. Belum cukup  teridentifikasi faktor-faktor objektif dan kondisi konkret-nyata yang mempengaruhi keputusan berdirinya seminari sendiri. Terakhir, masih dibutuhkan lebih banyak data untuk menjelaskan proses munculnya keputusan itu serta bagaimana  dinamika realisasinya dalam tahapan-tahapan waktu.

 

Delegatus Vicarius

Meskipun ditahbiskan tanggal 21 Juli 1940, Rm. Dwidjo baru bisa masuk ke Indonesia akhir Mei 1946. Awal Juni 1946 ia berangkat ke Kediri sebagai Delegatus Vicarius (Wakil Vikaris) untuk wilayah yang dikuasai oleh pejuang Republik. Setelah PD II memang terjadi konflik antara kaum Republik dan Belanda. Kota Surabaya dan sekitarnya diduduki oleh pasukan Belanda, dan wilayah di luarnya dikuasai oleh pejuang Republik. Karena penempatan imam-imam Belanda di wilayah Republik amat berisiko, maka sebagian besar imam Belanda  akhirnya ditarik ke Surabaya. 

Rm. Boonekamp dalam Sejarah Gereja Katolik, hlm. 979-980 menyajikan laporan Mgr. Verhoeks kepada Paus pada tanggal 8 Maret 1947 tentang keadaan itu: “Akhir September hampir semua misionaris sudah dibebaskan kembali. Masing-masing kembali ke tempat pekerjaannya dahulu sebelum perang. Mereka mulai bekerja lagi, meskipun banyak di antara mereka itu, yang sebenarnya sangat membutuhkan istirahat, karena sangat lemah dan letih. Tetapi tak lama kemudian di antara kita banyak yang masuk tahanan lagi, sekarang tahanan barisan revolusioner, berhubung dengan pecahnya revolusi: 4 misionaris di Surabaya, 4 di Madiun, 3 di Blitar, 3 di Kediri dan 1 di Mojokerto. Di antara mereka itu - yang disebutkan pertama - hanya ditahan selama 1 bulan, sedang yang lainnya sampai 1 tahun baru dibebaskan kembali. Dua orang misionaris dengan suka rela tetap tinggal di Madiun dan seorang lagi di Blitar”.

Selain ketiga misionaris Belanda di Blitar dan Madiun, bersama Rm. Dwidjosoesastro terdapat Rm. Dibjokarjono dan Rm. Hadisoedarso. Mereka adalah romo-romo projo Vikariat Apostolik Surabaya yang dibina di Seminari Tinggi untuk calon projo di Yogyakarta. Mereka ditahbiskan oleh Mgr. A. Soegijapranata, SJ, masing-masing pada tahun 1945 dan 1946. Rm. Dibjo bertugas di Blitar, dan Rm. Hadi bertugas di Kediri bersama dengan Rm. Dwidjo. 

Kombinasi misionaris dan imam muda dari wilayah Vikariat Apostolik Surabaya sendiri ini belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga untuk sesaat kita melihat suatu periode baru karya misi, yang mengandalkan tenaga imam dari Vikariat sendiri. Rm. Dwidjo, yang paling senior di antara imam-imam muda, sebagai Delegatus Vicarius praktis menjadi tangan kanan Mgr. Verhoeks dalam menggembalakan umat dan mengkoordinasi pastoral di wilayah yang sulit dijangkaunya. 

Menurut Rm. Boonekamp dalam Sejarah Gereja Katolik, hlm. 980, pada tanggal 8 Maret 1947 Mgr. Verhoeks melaporkan kepada Paus: “Mengenai stasi-stasi misi yang dipimpin dan dilayani imam-imam pribumi dapatlah kita laporkan, bahwa mereka itu dapat menunaikan tugas rohani mereka dengan kebebasan agak lumayan.” Informasi ini rupanya disusun berdasar laporan  yang dikirimkan oleh Rm. Dwidjosoesastro, kira-kira dalam bulan Oktober 1946. 

Laporan itu disajikan oleh Rm. Boonekamp dalam Sejarah Gereja Katolik, hlm. 982-983: 

“Di Madiun pastor van Goethem dan Smets sehat; di dalam kota bebas bergerak dapat mengadakan perjalanan dinas di wilayah Karesidenan, hidup dari hasil jual barang; di dalam kota satu perayaan misa, dua sekolah.”

Blitar: Kock sehat, boleh menjalankan dinas luar, tetapi ambil kebijaksanaan tidak melakukan, tinggal di susteran, pastoran masih dipakai (diduduki); gereja dapat dipakai, tapi tanpa listrik; Pastor Dibjakarjana ke Yogya lagi untuk diperiksa, biasanya tinggal di klinik Blitar; usaha: pertanian sederhana, beberapa sekolah, pelajaran-pelajaran privat tambah klinik, selanjutnya tanpa pembantu.”

Kediri: pastor Hadi sehat, kerja keras, dinas luar ke mana-mana, kecuali Madiun dan Blitar, jika pastor Dibja dapat, mana-mana sekali sebulan, juga ke Jombang dan Cepu sekali sebulan; dinas luar 3 minggu atau lebih; hidup katolik mulai bangkit kembali; retret Pohsarang 22 orang pengikut. Frater-frater: sekolah 6 kelas penuh. Satu sekolah MULO (SMP) Katolik, murid 100 lebih, diusahakan orang-orang katolik gotong-royong; kurang uang, dua orang katekis, gaji terlalu rendah; umat pengunjung gereja kurang pakaian; gereja-gereja bebas kecuali Nganjuk, tapi kosong tanpa isi, dipelihara umat, uang tak ada untuk memperbaiki; fonds misi untuk seluruh daerah, pusat Kediri (Robiman).”

Pengeluaran: pastor-pastor hidup sederhana, guru-guru agama, sekolah-sekolah, ongkos liburan dan bayaran sekolah bagi 2 siswa seminari menengah Ganjuran, ongkos liburan 2 siswa seminari tinggi Mertojudan, perjalanan dinas dan kebutuhan gereja.”

Terlihat bahwa seluruh wilayah di dalam tanggung jawabnya sebagai Delegatus Vicarius telah dikunjungi oleh Rm. Dwidjo, dan situasi masing-masing telah dicatat. Juga diurus “2 siswa seminari menengah Ganjuran dan 2 siswa seminari tinggi Mertojudan”, yang tentunya berasal dari Vikariat Apostolik Surabaya. Untuk siswa seminari menengah terdapat pengeluaran untuk “ongkos liburan dan bayaran sekolah”, dan untuk 2 siswa seminari tinggi “ongkos liburan”. Jadi karena bertugas sebagai Delegatus Vicarius, Rm. Dwidjo berurusan langsung dengan siswa-siswa seminari menengah dan seminari tinggi dari Vikariat Apostolik Surabaya.

Untuk saat ini kita belum menemukan laporan yang menjelaskan bagaimana Rm. Dwidjo, setelah laporannya yang pertama pada bulan Oktober 1946, menjalankan tugas-tugas koordinasinya. Namun terdapat laporan bulan September 1948 dari Rm. Smets di Madiun. Dilihat dari tanggal penulisannya, yaitu September 1948, laporan ini dibuat tak lama setelah para siswa seminari diboyong “bedol deso” oleh Rm. Dwidjo dan tiba di Surabaya tanggal 29 Juni 1948. 

Dalam laporannya Rm. Smets menyampaikan keadaan yang terjadi di Madiun kepada Mgr. Verhoeks: “Mengenai pekerjaan kita selama tahun-tahun terakhir ini tentunya pastor Dwidja sudah menulis laporan lengkap: pokoknya yang penting ialah mempertahankan apa yang sudah ada (katolik) dan meluruskan yang menyeleweng. Sebenarnya saya sendiri ingin datang (ke Surabaya), sebab banyak hal-hal yang perlu dibicarakan. tetapi belum tentu saya nanti dapat kembali, maka itu untuk sementara lebih baik keinginan itu kita tangguhkan dulu.”

Dari ungkapan di atas tampak bahwa Rm. Dwidjo menjalankan tugasnya sebagai Delegatus Vicarius: mengunjungi Madiun dan “menulis laporan lengkap”. Delegatus, selain berurusan dengan bawahan yang harus dikoordinasi, juga berurusan dengan atasan yang harus memperoleh laporan tentang hal-hal yang dipercayakan. Karena Rm. Dwidjo “menulis laporan lengkap”, harus diandaikan bahwa ada koordinasi antara dirinya dan Mgr. Verhoeks, juga meskipun komunikasi antara daerah Republik dan daerah pendudukan Belanda sulit dilakukan. 

Dengan data-data di atas, dapat disusun sedikit lebih jelas posisi Rm. Dwidjo dalam pendirian Seminari Menengah di Surabaya. Khususnya bahwa hal yang ia lakukan terkait para siswa seminari dan calon siswa ia lakukan dalam tanggung jawabnya selaku Delegatus Vicarius bagi Mgr. Verhoeks di wilayah Republik. Selanjutnya, meski Rm. Smets tidak menyinggung “berdirinya Seminari” tanggal 29 Juni 1948, kecil kemungkinan ia tidak mengetahui hal itu, atau “terkejut” seumpama mendengarnya, seperti dialami oleh konfraternya di Paroki Kepanjen, Surabaya. Belum ada bukti yang memastikan bahwa rencana kepindahan ini sudah diketahui oleh Mgr. Verhoeks, atau diputuskan bersama dengannya, tetapi laporan Rm. Smets memberi gambaran bahwa Rm. Dwidjo selaku Delegatus Vicarius tidak bertindak seorang diri.

Kita boleh memastikan bahwa Rm. Dwidjo memandang pembinaan calon imam sebagai hal penting. Juga boleh dipastikan bahwa beliau memandang penting adanya seminari di Surabaya. Tentu ia mengetahui bahwa rencana pendirian seminari telah dimiliki oleh para misionaris sejak semula, termasuk oleh Mgr. Verhoeks, yang berencana sejak awal tugasnya tahun 1938. Apalagi kini urgensinya ditegaskan oleh Utusan Paus. Sementara secara sosial-politik dan keamanan kondisi di Yogyakarta bukanlah kondisi ideal untuk pembinaan. Maka kedatangannya bersama para calon imam tanggal 29 Juni 1948 menjadi bukti nyata adanya kesadaran bahwa pembinaan calon imam harus diselenggarakan di Surabaya. Adanya seminari di Surabaya merupakan proyek yang harus direalisasi. Karena itu ia datang ke Surabaya bersama dengan kawanan kecil seminarisnya. 

Bisa dibayangkan bahwa para imam di wilayah Republik sekurang-kurangnya mengetahui rencana ini. Mungkin hal ini diputuskan bersama dengan mereka. Yang pasti, pemberangkatan ke Surabaya memerlukan koordinasi dengan para imam di paroki-paroki, karena para siswa tidak hanya berasal dari paroki tempat Rm. Dwidjo bertugas, melainkan juga dari Blitar dan Madiun.

Belum ada bukti tentang ada atau tidaknya koordinasi antara Rm. Dwidjo dan Mgr. Verhoeks  tentang kepindahan tempat pembinaan calon imam dari Yogyakarta ke Surabaya. Sebagai Utusan Vikaris, lumrahnya ia menjalin komunikasi dan berkoordinasi dengan pimpinannya untuk hal sepenting ini. Kalau toh tidak ada koordinasi sebelumnya, kiranya ada kesadaran gerejawi yang wajar, bahwa seorang Delegatus tidak akan melakukan sesuatu selain yang dikehendaki oleh, dan yang sesuai dengan kehendak, atasan yang diwakilinya. 

Jadi, apakah Rm. Dwidjo datang ke Surabaya atas prakarsa pribadi, ataukah ia, sebagai Utusan Vikaris di wilayah Republik yang subur panggilannya, justru sedang merealisasi kehendak Vikaris? Apakah setelah tiba di Kepanjen ia langsung kembali ke Kediri, ataukah menghadap Vikaris Apostolik, Mgr. Verhoeks, di Coen Boelevard? Atau justru sebelum tiba di Kepanjen ia mampir lebih dahulu di Coen Boelevard, ke Mgr. Verhoeks?

Jelas, terjadi keterkejutan di Pastoran Kepanjen karena fait accompli yang dibuat oleh Rm. Dwidjo, sebagaimana dilaporkan oleh Rm. Wolters sebagai saksi mata karena tinggal di Kepanjen. Tetapi apakah itu cukup untuk menjelaskan apakah Mgr. Verhoeks, Vikaris Apostolik di Coen Boelevard, turut terkejut dengan adanya peristiwa itu? 

Saat menulis Pedoman Seminari, saya berpikir bahwa Mgr. Verhoeks tidak ikut dalam rencana kepindahan itu, dan “turut terkejut” atas kedatangan para calon imamnya. Di Pedoman Seminari tertulis: “Kedatangan Perintis dan para ‘seminaris awal’ yang mengejutkan ini mendapat sambutan positif dari para imam dan Vikaris Apostolik di Surabaya, hingga selanjutnya tanggal 29 Juni 1948 itu dinyatakan sebagai hari berdirinya Seminari.” Toh, bagaimanapun, masih diperlukan bukti untuk menegaskan adanya keterkejutan Mgr. Verhoeks itu. 

Di atas semuanya, yang penting untuk digarisbawahi adalah dedikasi dan peran Rm. Dwidjo sendiri dalam mengurus calon imam bagi Vikariat Apostolik Surabaya sejak kedatangannya di Indonesia, yang berpuncak pada pendirian Seminari Menengah di Surabaya. Bahkan dedikasi dan peran itu tidak selesai dengan menyerahkan para siswa kepada konfrater di Surabaya. Ketika perannya sebagai Delegatus Vicarius pada tahun 1949 sudah tidak diperlukan karena keamanan sudah terjamin dan Mgr. Verhoeks dapat berkunjung dengan tenang ke daerah Republik, Rm. Dwidjo diangkat sebagai Pastor Paroki Madiun tanggal 3 Oktober 1949. Di sana ia tetap berkarya di bidang yang amat strategis bagi karya misi, dengan membuat asrama bagi para pemuda yang dipersiapkan untuk masuk ke Seminari Menengah di Surabaya.  

 

Mgr. Verhoeks: Pendiri Seminari

Sebagaimana saya katakan, saat mencantumkan Mgr. Verhoeks sebagai “Pendiri Seminari” dalam Pedoman Seminari 2008, saya mengikuti cara yang lazim dalam Gereja. Yaitu bahwa yang mempunyai kapasitas secara kanonik untuk mendirikan seminari adalah uskup. Kalau Rm. Dwidjo disebut sebagai pendiri, kedatangan beliau ke Surabaya bersama para seminaris dan calon seminaris bagaimanapun bukanlah “tindakan pendirian” dalam arti formal atau sesungguhnya.

Dalam perjalanan waktu, tanggal kedatangan Rm. Dwidjo dan para pemuda, yaitu 29 Juni 1948, dalam tradisi Seminari disebut “tanggal pendirian”. Peristiwanya sendiri menurut Rm. Boonekamp merupakan “semacam ‘fait accompli’”, yang “akhirnya membuka jalan ke arah berdirinya sekolah seminari menengah di wilayah keuskupan sendiri.” Ungkapan bahwa peristiwa ini “akhirnya membuka jalan bagi berdirinya sekolah seminari menengah” menunjukkan bahwa pada saat itu tidak ada tindakan formal pendirian institusi, dan sebutan “tanggal pendirian” hanya bernilai simbolik untuk menandai pendirian Seminari yang “didirikan tanpa upacara peresmian”. 

Dengan tidak adanya tindakan formal “mendirikan seminari” dari pihak Rm. Dwidjo yang dalam peristiwa itu tampil sebagai pemeran utama, maka tidak cukup dasar untuk mengatribusikan pendirian Seminari kepada Rm. Dwidjo. Khususnya jika kita mengabaikan kapasitas Mgr. Verhoeks selaku Vikaris Apostolik yang berwenang dalam urusan pembinaan calon imam di wilayahnya.

Mgr. Verhoeks sendiri diangkat menjadi Prefek Apostolik Surabaya pada 22 Oktober 1937. Ia tiba di Surabaya pada tanggal 8 Maret 1938, dan diresmikan sebagai Prefek Apostolik 5 hari kemudian, pada tanggal 13 Maret. Beliau ditahbiskan sebagai Uskup pada tanggal 8 Mei 1942 oleh Mgr. Soegijapranata, SJ, dengan uskup ko-konsekrator Mgr. Albers, Vikaris Apostolik Malang, dan Mgr. Kusters, Prefek Apostolik Banjarmasin. Pentahbisan ini dilakukan seiring dengan perubahan status Prefektur Apostolik Surabaya menjadi Vikariat Apostolik.

Kehendak Mgr. Verhoeks akan adanya seminari menengah di wilayah yang dipercayakan kepadanya sudah ada sejak semula, tahun 1938. Hal itu dikisahkannya kepada Paus sebagai laporan awal tugasnya sebagai Prefek Apostolik. Keinginan itu terkendala oleh perang yang meletus di Eropa, sehingga imam-imam baru dari Belanda, termasuk Rm. Dwidjo, tidak dapat datang. 

Dengan data di atas, terdapat cukup alasan untuk menyebut Mgr. Verhoeks, selaku Vikaris Apostolik, sebagai pendiri Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo. Ialah yang memiliki wewenang atas siswa seminari. Ia berwewenang memutuskan di mana Seminari hendaknya didirikan. Ia memutuskan siapa yang ditugasi membina sebagai rektor, pengajar dan sebagainya.  Misalnya Rm. Dwidjo melakukan fait accompli terhadap atasannya, fait accompli itu tidak meniadakan wewenang Mgr. Verhoeks untuk suatu pendirian seminari dan segala yang perlu untuk penyelenggaraannya. Apalagi peristiwa fait accompli itu terjadi di kota Surabaya yang jelas ada dalam jangkauan dan kendalinya, maka sewajarnya dialah yang mengatur dan memutuskannya.

Delapan bulan setelah peristiwa itu, tanggal 25 Februari 1949, seminari kecil di Jl. Kepanjen 9 dipindah ke suatu rumah di Jl. Dinoyo 42. Menurut Rm. Wolters dalam John Tondowidjojo, Historiografi Keuskupan, hlm. 154-155, rumah itu merupakan “gedung besar dengan kebun dan halaman yang luas”. Dahulu rumah itu merupakan “besaran”, tempat tinggal tuan besar, dengan pohon beringin besar di depannya. Ketika dibeli dan beralih menjadi milik Vikariat, rumah itu sudah tidak terpakai. Di situ rencananya berdiri gedung Hogere Burger School (HBS) Katolik. Rencana itu batal karena perang. Akhirnya tanah itu diperoleh kembali oleh Mgr. Verhoeks pada tahun 1948, setelah sebelumnya dijadikan “kamp untuk pengungsi; sampai sejumlah 120 orang mendapatkan tempat tinggal di situ di gedung utama dan bangunan samping”.

Rumah itu diperbaiki dan digunakan untuk Seminari Menengah. Di titik ini terlihat jelas peran Mgr. Verhoeks dalam mengatur pendirian Seminari, sesuai norma yang berlaku saat itu, yaitu KHK 1917 Kan. 1354 - par. 1. Pilihan tempat yang strategis sekaligus menegaskan kehendak beliau untuk suatu seminari yang bermutu di Vikariatnya. Rm. Wolters berkata: “Rumah tersendiri untuk para misionaris masa depan! Delegat Apostolik, yang tidak lama berkenan mengunjunginya, sangat gembira tentang rumah dan pengaturannya. Beliau berpendapat bahwa ini nyaris awal yang lux!”

Selain keseriusan Mgr. Vehoeks dalam memilih tempat bagi seminari baru, Rm. Wolters menampilkan sisi lain pendirian seminari, yaitu hadirnya “Delegat Apostolik, yang tidak lama berkenan mengunjunginya”, yang “sangat gembira tentang rumah dan pengaturannya”. Ungkapan ini menyiratkan bahwa pendirian seminari juga merupakan prioritas Kongregasi Propaganda Fide, yang direpresentasikan oleh Delegatus Apostolik, Mgr. Georges de Jonghe d’Ardoye, MEP. 

Menurut Jan Bank, Katolik di Masa Revolusi Indonesia, Jakarta: Grasindo 1999, hlm. 394-395  Mgr. de Jonghe d’Ardoye diangkat menjadi Delegatus Apostolik atas pemohonan para para waligereja Hindia Belanda/Indonesia, dan tiba di Jakarta pada 27 Juni 1947. Sebagai Delegatus Apostolik ia tak memiliki status diplomatik. Dalam suasana perundingan-perundingan dan transisi politik disertai konflik bersenjata antara pihak Republik dan Belanda, ia diharapkan berposisi netral dan hanya berwenang mengawasi kehidupan Gereja dan kebijakan uskup setempat. 

Setelah penyerahan kedaulatan secara resmi oleh Belanda kepada Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Vatikan mengakui RIS. Pada 12 Januari 1950 Delegatus Apostolik Mgr. de Jonghe d’Ardoye diangkat menjadi internunsius, yang memiliki wewenang diplomatik. Menilik sebutannya masih sebagai “Delegatus Apostolik”, bisa dipastikan bahwa kunjungan Mgr. de Jonghe d’Ardoye ke seminari Jl. Dinoyo 42 terjadi sebelum pengangkatannya sebagai Internunsius tanggal 12 Januari 1950. Kunjungan yang dilakukan tak lama setelah seminari berada di tempat baru ini menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap pendirian seminari. 

Yang pasti, perhatian Mgr. de Jonghe d’Ardoye pada pembinaan calon imam di Indonesia tidak hanya terbukti dari kunjungannya ke Surabaya. Perhatian itu tampak dalam keputusan Vikaris Apostolik Medan, Mgr. Mathias Brans OFMCap untuk membuka pusat pembinaan imam yang lengkap di kota Padang, September 1949. “Keputusan itu diambil atas desakan Duta Vatikan di Jakarta, Mgr. de Jonghe d’Ardoye”, meskipun “banyak pastor berpendapat bahwa tindakan itu premature”. Demikian https://www.schoolandcollegelistings.com/ID/Pematangsiantar/224119064272358/SMA-Seminari-Menengah-Christus-Sacerdos pada 21-5-2018. 

Mengenai Seminari Menengah Stella Maris Bogor dikatakan: “Atas anjuran Mgr. de Jonghe d'Ardoye, Nunsius Apostolik untuk Indonesia saat itu, agar setiap Keuskupan atau Perfektura mempunyai sebuah seminari menengah sendiri, maka pada tahun 1950 diadakan rapat Bandung. Dalam rapat tersebut diumumkan bahwa akan didirikan seminari menengah di Cicurug. Seminari menengah itu resmi didirikan pada tanggal 28 November 1950 oleh Mgr. N.Geise OFM yang saat itu menjabat sebagai Perfek Apostolik pada Perfektur Sukabumi.” Demikian http://delarista.blogspot.co.id/2010/03/ pada 21-5-2018.

Kisah lain menggambarkan semangat pendirian seminari-seminari di Indonesia saat itu. “Pada audiensi Mgr. N.M. Schneiders, CICM kepada Bapa Suci Pius XII di Tahta Suci, Vatikan pada 19 Maret 1949, sang Uskup mendapat pertanyaan dari Sri Paus, ‘Apakah sudah dilangsungkan pendidikan seminari di wilayah Keuskupan Anda?” Mgr. N.M. Schneiders, CICM menjawab, “Seminari belum dirasakan perlu didirikan mengingat jumlah umat Katolik setempat belum melebihi dua ribu orang dan apalagi kebanyakan umat adalah kaum muda.’ Tetapi, sepulangnya dari Vatikan, Uskup Schneiders yang memandang pertanyaan Paus itu sebagai perintah, langsung memohon kesediaan Pater Albert Raskin, CICM untuk membuka asrama bagi para siswa yang bercita-cita menjadi imam. Atas perintah Uskup, pada bulan Agustus 1951, asrama yang menjadi cikal bakal Seminari itu mulai dibangun di Kota Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja. Pada tahun April 1953 seminari dipindahkan ke kota Makassar karena alasan keamanan”. Demikian https://seminarisantopetrusclaver.wordpress.com/sejarah-singkat-spc/ pada 21-5-2018.

Kisah-kisah di atas menjelaskan konteks gerejawi berdirinya Seminari di Surabaya secara lebih utuh. Karya keperintisan Rm. Dwidjo, di satu sisi, merupakan anugerah penyelenggaraan ilahi bagi Vikariat Apostolik Surabaya, khususnya untuk pendidikan calon imam secara stabil dan permanen melalui seminari yang didirikan di Surabaya. Di sisi lain, karya itu berlangsung di tengah perjuangan Gereja Indonesia di awal kemerdekaan untuk mandiri, yang terepresentasikan dalam kisah-kisah dan tokoh-tokoh pendirian seminari di atas.

Berkenaan dengan Mgr. Verhoeks, khususnya tentang perannya dalam peristiwa 29 Juni 1948, belum ditemukan data historis yang membantu memastikan, apakah beliau ter-fait accompli oleh Rm. Dwidjo, ataukah tindakan Rm. Dwidjo justru dilakukan untuk merealisasi kehendak Mgr. Verhoeks. Lepas dari persoalan itu, kita tetap dapat, dan sudah selayaknya, menyebut beliau sebagai “Pendiri Seminari”, mengingat kelaziman dalam praktik menggereja, yang diteguhkan oleh kehendak beliau sendiri akan hadirnya seminari di Vikariat yang dipimpinnya. 

Bahkan sebutan Mgr. Verhoeks sebagai “Pendiri Seminari”, sesungguhnya bukan temuan baru, sebab sebutan itu sudah sejak semula disandangkan pada beliau. Sebutan itu terdapat dalam naskah sambutan Mgr. de Jonghe d’Ardoye, sesaat setelah mentahbiskan Mgr. J. Klooster, CM sebagai Uskup pada tanggal 1 Mei 1953, bersama ko-konsekrator Mgr. Mgr. A. Soegijapranata, Uskup Agung Semarang, dan Mgr. A. Djajasepoetra, Uskup Agung Jakarta.

Dalam “Discours pour le Sacre de S.E. Mgr. J. Klooster” (Sambutan Tahbisan Y.M. Mgr. J. Klooster), dalam folder A.211 - Secretaria Status, Arsip Keuskupan Surabaya, ia berkata: “Saat upacara tahbisan, khususnya saat mengenang mereka yang telah meninggal, pikiran saya tak henti-hentinya tertuju kepada pendahulu Anda yang patut dihormati, Yang Mulia Mgr. Verhoeks, yang bagi saya bukan hanya Gembala Vikariat Surabaya, tetapi seorang teman. Pidato pujian baginya telah diberikan, dan hanya dapat saya ulangi apa yang telah dikatakan dan dituliskan tentang dia sebaik mungkin. Saya berharap Yang Mulia terus mengikuti jejak-jejaknya, selalu memancarkan senyum di tengah-tengah kecemasan, selalu mengarahkan pandangan ke langit, dari mana datang rahmat ilahi dan penghiburan bagi kita. Mgr. Verhoeks adalah pendiri Seminari Kecil, karya terpenting di suatu Vikariat. Mengikuti tradisi tiga abad di antara Imam-imam Misi, saya yakin, Yang Mulia akan terus mengembangkan apa yang telah ada.”

(Aslinya berbunyi: “Pendant la cérémonie du sacre, et spécialement pendant le Memento des morts, je n'ai cessé de penser à Votre vénéré prédécesseur, S.E. Mgr. Verhoeks, qui fut pour moi non seulement le Pasteur du Vicariat de Surabaja, mais un ami. Son éloge a déjà été fait, et je ne pourrais que répéter ce qui a été dit et écrit sur lui avec tant de compétence. Je souhaite, que Votre Excellence continue de marcher sur ses traces, gardant toujours le sourire au milieu des tracas, conservant toujours les yeux tournés vers le ciel, d'où nous viennent la gràce divine et les consolations. Mgr. Verhoeks fut le fondateur du Petit Séminaire, oeuvre la plus importante dans un Vicariat. Votre Excellence, suivant la tradition trois fois séculaire parmi les Prêtres de la Mission, continuera, j'en suis certain, à développer ce qui existe déjà.”).

Secara eksplisit Mgr. de Jonghe d’Ardoye menyebut Mgr. Verhoeks sebagai le fondateur du Petit Séminaire, “Pendiri Seminari Menengah”. Sebutan itu kiranya ia sampaikan di hadapan hadirin, dan tentunya didengar dan dipahami maksudnya oleh Mgr. Klooster dan hadirin saat itu, termasuk kiranya Rm. Dwidjosoesastro dan para romo yang lain. Barangkali Mgr. de Jonghe d’Ardoye tidak mengetahui secara lengkap kisah di balik pendirian seminari, yang melibatkan Rm. Dwidjo sebagai pemeran penting. Tetapi sebutan le fondateur du Petit Séminaire yang ia berikan kepada Mgr. Verhoeks kiranya tidak disangkal pula oleh siapapun saat itu. 

Mgr. Verhoeks sendiri meninggal setahun sebelum tahbisan Mgr. Klooster itu, yaitu pada tanggal 8 Mei 1952: 4 tahun setelah pendirian Seminari, dan tepat 10 tahun setelah ia menerima tahbisan Uskup pada tanggal 8 Mei 1942. Kedekatan Mgr. de Jonghe d’Ardoye sebagai imam MEP (les Missions Etrangères de Paris) dengan imam-imam CM pada umumnya, dan secara khusus dengan imam-imam CM di Surabaya saat ia bertugas di Indonesia, tergambarkan dalam kata sambutan tersebut, dan itu ia sampaikan dengan beberapa ungkapan. Dalam suasana hati yang dekat dan personal, sebutan “Pendiri Seminari Menengah, karya terpenting di suatu Vikariat” yang dikenakan pada Mgr. Verhoeks kiranya disampaikannya dengan suatu kecintaan. Sebutan itu kiranya masih berlaku sekarang, saat Seminari ini memasuki usianya yang ke-70 tahun.

 

 

Surabaya, 22 Mei 2018

Rm. Petrus Canisius Edi Laksito

Rm. Dwidjo, Perintis Seminari

 

 

Perayaan 70 tahun Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo, Garum, Blitar pada tahun 2018 ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengkaji figur amat penting dalam proses berdirinya Seminari, yaitu Rm. Ignatius Dwidjosoesastro, CM. Tulisan ini sendiri saya fokuskan pada peran Rm. Dwijo dalam proses pendirian tersebut, yaitu  sebagai “perintis” Seminari.

Istilah “Perintis Seminari” saya simpulkan untuk mendefinisikan peran Rm. Dwidjo bagi Seminari pada saat saya, sebagai rektor, menyusun Pedoman Seminari di tahun 2007. Pedoman ini (bersampul kuning, di samping Tata Hidup Siswa bersampul biru) selesai seluruhnya ketika saya sudah bertugas sebagai Vikjen Keuskupan Surabaya. Pengantar ditandatangani oleh Rm. Cosmas Senti Fernandez sebagai Rektor pada tanggal 8 Januari 2018, dan ditetapkan oleh Bapak Uskup Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono tanggal 1 Mei 2008.

Saya memilih sebutan “perintis” bagi Rm. Dwidjo setelah menyebut Mgr. Verhoeks, Vikaris Apostolik Surabaya saat Seminari berdiri tahun 1948, sebagai “Pendiri Seminari”. Demikianlah pada Pedoman Seminari tahun 2008 no. 14 tertulis: “Perintis Seminari adalah Rm. Ignatius Dwidjasoesastra CM (1910-1975)”, sedangkan pada no. 13 disebutkan: “Pendiri Seminari adalah Mgr. Michael Verhoeks CM (1893-1952)”.

Sebutan-sebutan ini saya pilih disertai kesadaran bahwa dengan cara ini saya meninggalkan pandangan yang sebelumnya saya ikuti, yang menyebut Rm. Dwidjo sebagai “pendiri” Seminari. Sekarang, setelah 10 tahun, saya masih berpandangan bahwa istilah “Perintis Seminari” merupakan istilah paling tepat menggambarkan peran beliau bagi Seminari Garum.

Saat ini saya mengira, sebutan Rm. Dwidjo sebagai “Pendiri Seminari” mulai digunakan sekitar tahun 1998, pada peringatan 50 tahun Seminari. Peringatan itu sendiri masih terlacak jejaknya dalam wujud Buku Kenangan Seminari Menengah Keuskupan Surabaya St. Vincentius a Paulo 50 Tahun (1948-1998), yang juga memuat artikel perjalanan sejarah Seminari yang disusun oleh seminaris Stephen W. dan Budi Nawanta, Kelas III IPA. Di situ diungkapkan bahwa Rm. Dwidjo “berinisiatif untuk memusatkan pendidikan imam di Keuskupan Surabaya di suatu tempat”, “mendirikan tempat pendidikan imam”. Ungkapan-ungkapan itu dimaksudkan untuk menjelaskan peristiwa kedatangan Rm. Dwidjo bersama dengan 8 pemuda calon imam di Pastoran Kepanjen, Surabaya pada “hari jadi” Seminari, tanggal 29 Juni 1948.

Dalam kaitan dengan itulah di sini saya mencoba menyampaikan alasan saya menyebut Rm. Dwidjo sebagai “Perintis Seminari”, di samping Mgr. Verhoeks sebagai “Pendiri Seminari”. Secara singkat alasan itu sudah dijelaskan dalam Pedoman Seminari, namun dengan menyampaikan secara lebih terurai, saya berharap alasan itu kian terpahami.

Lebih jauh saya berharap bahwa dengan kajian ini, semangat keperintisan Rm. Dwidjo, yang mencerminkan jiwa pastoral dan misioner seorang imam saat Gereja menghadapi tantangan berat, dapat diteladani di masa Gereja menghadapi tantangan-tantangan saat ini. Dalam bahasan ini juga terdapat beberapa aspek historis yang belum terjawab terkait karya keperintisan Rm. Dwidjo bagi pembinaan calon imam di Vikariat Apostolik, yang kemudian menjadi Keuskupan Surabaya. Dengan melihat adanya hal-hal yang belum tuntas dari segi kajian historis diharapkan lebih terasa kompleksitas dan dinamisnya situasi yang melahirkan Seminari tercinta ini.

 

Perkenalan dengan “Bapak Pendiri Seminari”

Saya bertugas sebagai rektor Seminari Garum tahun 2000-2007. Saat baru tiba di Seminari, saya menata kamar yang akan saya tempati. Dalam proses itu saya menemukan gambar foto Rm. Ignatius Dwidjosoesastro, CM, ditempatkan dalam pigura. Pada gambar terdapat keterangan: “Imam Lasaris Indonesia pertama” dan “Bapak Pendiri Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo”. Juga tercantum tempat tanggal lahir, tempat tanggal wafat, dan tempat tanggal tahbisan imam.

Spontan temuan ini menimbulkan antusiasme saya, baik sebagai rektor baru maupun sebagai peminat sejarah. Romo-romo di Seminari juga menyampaikan satu dua hal tentang kisah yang membuat Rm. Dwidjo disebut “pendiri Seminari”. Karena sosoknya saya rasa penting untuk membantu penghayatan saya sebagai rektor, maka foto tersebut saya taruh di kamar, di posisi paling mudah dan paling sering dilihat. Demikianlah beliau menemani saya selama 7 tahun.

Ketertarikan saya akan figur Rm. Dwidjo membuat saya ingin menggali informasi tentang dirinya. Ketika ada kegiatan di Madiun, tempat beliau berasal, saya mencari informasi tentang keluarganya. Dan ternyata memang masih ada keluarga Rm. Dwidjo di sana. Rm. Lukas Suwondo, CM, yang pernah menyaksikan kiprah beliau ketika Rm. Lukas masih sebagai calon imam, saya minta untuk menuliskan kesan-kesannya tentang Rm. Dwidjo. Kesan-kesan itu diserahkan oleh Rm. Lukas dalam bentuk selembar kertas ketikan komputer, yang saya simpan sampai sekarang.

Perjumpaan kembali dengan Rm. Dwidjo terjadi ketika saya menulis sejarah Yayasan Yohanes Gabriel dalam rangka ulang tahunnya ke 80 tahun 2005. Dalam buku Mendidik Anak Bangsa itu Rm. Dwidjo muncul ketika saya menyajikan situasi Keuskupan Surabaya setelah Perang Dunia II, khususnya berkenaan dengan pendirian Seminari Menengah di Surabaya. Peristiwa itu saya tulis dalam satu paragraf, bersumber dari Rm. P. Boonekamp, CM, “Sejarah Gereja Katolik di wilayah Keuskupan Surabaya”, dalam Sejarah Gereja Katolik Indonesia 3b, Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Waligereja Indonesia, Jakarta, 1974, hlm. 972-998.

Saya tulis di hlm. 168-169: “Pendirian seminari ini terasa dramatis, karena terjadi pada saat Gereja dalam kesulitan. Pendirian ini terjadi karena ‘fait accompli’ oleh Rm. Dwidjasoesastra CM, Vicarius Delegatus daerah Republik. Beliau memboyong 8 seminaris Vikariat Apostolik Surabaya dari Yogyakarta, Kediri, Blitar dan Madiun menuju Surabaya. Mereka berjalan kaki melintasi garis demarkasi Mojokerto, malam hari lewat rel kereta api. Semula, sebagian dari mereka bersekolah di Jawa Tengah atau sekedar diberi pendidikan di pastoran. Rombongan tiba di Pastoran Kepanjen pada 29 Juni 1948, dan tanggal ini dipandang sebagai hari berdirinya seminari.”

Penyebutan nama Rm. Dwidjo saya lakukan kembali waktu menulis profil Seminari Garum dalam rangka penerbitan buku Profil Seminari Menengah Indonesia oleh Komisi Seminari KWI. Profil itu saya tulis tahun 2006, sementara bukunya terbit tahun 2007. Di situ tertulis tanggal berdirinya Seminari Garum pada Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, 29 Juni 1948, dan nama pendiri Rm. Ignatius Dwidjasoesastra CM. Dengan demikian, sampai dengan saat itu, saya tetap menempatkan Rm. Dwidjo sebagai “Bapak Pendiri Seminari”.

 

Perintis Seminari

Pada tahun 2006-2007 saya dan para romo menyempurnakan Tata Hidup Siswa Seminari Garum. Buku ini selesai dan saya beri pengantar bertanggal 29 Juni 2007, saat pergantian rektor dari saya ke Rm. Cosmas Senti Fernandez. Buku ini direvisi saat Rm. Stefanus Cahyono menjadi rektor, dengan pengantar tanggal 26 September 2011. Selain itu saya mempersiapkan Pedoman Seminari, yang baru selesai tahun 2008, saat sudah menjadi Vikjen.

Berkenaan dengan penulisan Pedoman Seminari, secara alamiah saya mencari rujukan dari berbagai sumber. Selain dokumen Seminari, sumber utama tentulah dokumen Gereja, khususnya dekrit Konsili Vatikan II tentang pembinaan imam Optatam Totius, Kitab Hukum Kanonik 1983 dan anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II Pastores Dabo Vobis (1992). Dari kajian dokumen ini saya berkesimpulan bahwa Rm. Dwidjo tidak dapat disebut sebagai “Pendiri Seminari”, tetapi amat layak disebut sebagai “Perintis Seminari”. Itu saya cantumkan dalam buku Pedoman Seminari, sementara sebagai “Pendiri Seminari” tertulis Mgr. M. Verhoeks.

Beberapa informasi pokok saya uraikan pada Pedoman no. 33, dengan rincian berikut:

No. 33.a., tentang “Cita-cita Pendirian Seminari”, tertulis: “Pendirian Seminari sejak semula merupakan harapan para misionaris yang berkarya di wilayah Prefektur Apostolik (lalu Vikariat Apostolik) Surabaya, sebagai ‘puncak segala karya misi’. Pendirian Seminari merupakan cita-cita Prefek Apostolik Mgr. Theopliel de Backere CM (1882-1945) dan pengganti beliau, Vikaris Apostolik Mgr. Michael Verhoeks CM (1893-1952). Pendirian Seminari selama periode misi tertunda karena krisis ekonomi dan perang. Sesudah Perang Dunia II, cita-cita ini menjadi lebih mendesak. Gereja Indonesia sendiri didesak oleh Delegatus Apostolik (Utusan Paus) agar tidak menunda-nunda pendirian seminari menengah di daerah yang belum memilikinya.”

No. 33.b., tentang “Perintis Seminari”, tertulis: “Perintis berdirinya Seminari adalah imam CM pribumi pertama, Rm. Ignatius Dwidjasoesastra CM (1910-1975). Beliau pada 1946-1949 bertugas sebagai Pastor Paroki St. Vincentius Kediri, dan oleh Vikaris Apostolik, Mgr. Michael Verhoeks, CM, ditunjuk sebagai Vicarius Delegatus (Utusan Vikaris) untuk wilayah Vikariat yang saat itu dikuasai oleh Republik Indonesia.”

No. 33.c., tentang “Pendirian Seminari”, tertulis: “Mengikuti norma-norma Hukum Gereja, Seminari dari segi sahnya didirikan oleh Mgr. Michael Verhoeks, CM, sebagai Vikaris Apostolik Surabaya saat itu. De facto Seminari ‘didirikan tanpa peresmian’ dengan tibanya Perintis Seminari, Rm. Ignatius Dwidjasoesastra CM bersama 8 pemuda calon imam dari wilayah Vikariat Apostolik Surabaya yang dikuasai oleh Republik, di pastoran Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria, Kepanjen, Surabaya, pada 29 Juni 1948, Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, saat Revolusi Kemerdekaan RI. Kedatangan Perintis dan para ‘seminaris awal’ yang mengejutkan ini mendapat sambutan positif dari para imam dan Vikaris Apostolik di Surabaya, hingga selanjutnya tanggal 29 Juni 1948 itu dinyatakan sebagai hari berdirinya Seminari.”

Tampak, implisit tetapi cukup jelas, bahwa saya menyebut Rm. Dwidjo sebagai “Perintis Seminari” karena dalam kapasitasnya sebagai seorang imam, beliau melakukan karya-karya persiapan bagi berdirinya suatu seminari. Meski sebelumnya saya memakai sebutan “Pendiri Seminari”, tetapi akhirnya saya menyadari bahwa sebutan itu tidak dapat dipakai lagi. Dalam hal ini saya “mengikuti norma-norma Hukum Gereja”, khususnya Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 Kan. 234 - par. 1 beserta kanon/paragraf setelahnya. Saya berasumsi bahwa “dari segi sahnya” pendiri seminari adalah uskup, dalam hal ini adalah Mgr. Michael Verhoeks CM, Vikaris Apostolik Surabaya saat itu. Sementara Kan. 233 - par. 1 dan 2 berharap bahwa para imam, bersama uskup, memperhatikan para laki-laki yang memiliki benih panggilan.

Hukum Gereja yang saat itu berlaku, yaitu KHK 1917 Kan. 1354 - par. 1, sendiri berkata: “setiap keuskupan hendaknya memiliki Seminari atau kolese di tempat yang tepat yang dipilih oleh Uskup” (Unaquaeque diocesis in loco convenienti ab Episcopo electo Seminarium seu collegium habeat). Sementara, tentang para imam, KHK 1917 Kan. 1353 berkata: “para imam, khususnya para pastor paroki, hendaknya berusaha untuk menjaga anak-anak lelaki, yang menunjukkan tanda-tanda panggilan gerejawi, dari pengaruh duniawi dengan perhatian khusus, membina ke arah kesalehan, menyediakan pendidikan dengan bahan-bahan belajar awal serta memupuk benih panggilan ilahi dalam diri mereka” (Dent operam sacerdotes, praesertim parochi, ut pueros, qui indicia praebeant ecclesiasticae vocationis, peculiaribus curis a saeculi contagiis arceant, ad pietatem informent, primis litterarum studiis imbuant divinaeque in eis vocationis germen foveant.).

Karena merujuk pada kelaziman kanonik tentang tugas uskup dan imam bagi pembinaan calon imam di ataslah saya mengartikan tindakan Rm. Dwidjosoesastro dalam rangka pendirian Seminari sebagai “tindakan keperintisan”. Upaya beliau sebagai Utusan Vikaris untuk menghimpun benih panggilan di wilayah tugas yang dipercayakan kepadanya, hingga akhirnya mengantar mereka ke Surabaya untuk memperoleh pembinaan sebagai calon imam adalah “tindakan keperintisan”. “Tindakan” ini dimulainya sejak ia bertugas sebagai Utusan Vikaris bertempat di Kediri, berpuncak pada saat ia melintasi garis demarkasi bersama 8 pemuda menuju Surabaya untuk menyerahkan pembinaan mereka sebagai calon imam kepada Vikaris Apostolik dan romo-romo di Surabaya.

Rm. Dwidjo melanjutkan karyanya bagi pembinaan calon-calon imam secara lebih intensif, khususnya ketika ia bertugas sebagai Pastor Paroki St. Cornelius Madiun pada tahun 1949. Beliau membuka asrama bagi anak-anak muda yang dipersiapkan untuk masuk Seminari Surabaya, sesuai kesaksian Rm. Prof. Dr. John Tondowidjojo CM, murid dan anak rohani Rm. Dwidjo, di beberapa buku yang ia terbitkan. Terakhir, kesaksian Rm. Tondo muncul dalam Jejak Langkah Hidup Imamat, CTC Sanggar Bina Tama Surabaya, Penerbit Kanisius 2018, hlm. 32-39.

Dengan gambaran ini, Rm. Dwidjo menurut saya layak disebut “perintis pembinaan calon imam”. Termasuk “perintis” pendirian Seminari St. Vincentius a Paulo, dan pendukung utama Seminari Vikariat Apostolik/Keuskupan Surabaya dengan terus mengirimkan calon-calonnya. Selayaknya pula ia menjadi icon, tonggak penting karya misi di bidang pembinaan calon imam.

 

Peristiwa 29 Juni 1948

Delapan calon imam yang dibawa oleh Rm. Dwidjo ke Surabaya tanggal 29 Juni 1948 itu, menurut Rm. J. Wolters CM dalam John Tondowidjojo, Historiografi Keuskupan Surabaya I, Regio I Kevikepan Surabaya Utara, CTC Sanggar Bina Tama Surabaya 2016, hlm. 155, “ternyata semuanya pemuda-pemuda Jawa dan berasal dari daerah kami sendiri”. Maksudnya, dari Vikariat Apostolik Surabaya. Mereka terdiri dari 5 siswa yang telah memulai studi mereka di Yogyakarta, dan kini pembinaan mereka dipindahkan ke Surabaya. Mereka adalah: A. Harjatmo, J. Harjanto, R. Sutarno, B. Soerjadi dan S. Soenarjo. Bersama mereka bergabung 3 calon siswa.

Rm. Boonekamp CM dalam Sejarah Gereja Katolik hlm. 997 menuturkan: “Antara tahun 1946-1948 pastor Dwidjasoesastra bertugas sebagai Wakil Vikaris di daerah kekuasaan Republik Indonesia. Atas usahanya maka beberapa pemuda waktu itu mulai mendapat pendidikan seminari. Mereka itu adalah pelajar-pelajar SMP di Yogyakarta, Kediri, Blitar atau Madiun. Di samping mengikuti pelajaran SMP, mereka juga mendapat pelajaran khusus dalam bahasa Latin di pastoran. Pada tanggal 26 Juni 1948 sejumlah 8 orang pelajar-pelajar tersebut dikumpulkan dan melalui garis demarkasi “diboyong” ke Surabaya. Tanggal 29 Juni mereka sampai di pastoran Kepanjen. Tanggal 29 Juni itu dipandang sebagai tanggal permulaan dibukanya (dimulainya) sekolah seminari menengah. Di pastoran Kepanjen lalu dimulai dengan apa yang disebut pendidikan seminari kecil, sejalan-jalannya dengan tenaga-tenaga pengajar para pastor yang diam di pastoran itu”.

Peristiwa ini oleh Rm. Boonekamp CM disebut “semacam ‘fait accompli’” yang “akhirnya membuka jalan ke arah berdirinya sekolah seminari menengah di wilayah keuskupan sendiri.” Sedangkan Rm. Wolters berkata: “Secara tiba-tiba datang Rm. Ign. Dwidjasoesastra CM pada hari raya rasul Petrus dan Paulus pada tanggal 29 Juni 1948 bersama dengan delapan calon pertama untuk Seminari kami”. Dalam Mendidik Anak Bangsa dan Pedoman Seminari 2008, Saya sendiri mengikuti pandangan ini untuk memahami peristiwa tersebut.

Rm. Boonekamp menyebut peristiwa ini semacam fait accompli karena memandang Rm. Dwidjo mengambil inisiatif tanpa memberi pilihan bagi orang-orang lain untuk berpikir dan memutuskan. Keputusan ini mau tidak mau harus diterima dan ditindaklanjuti, karena para siswa sudah datang dan sudah siap untuk menerima pembinaan.

Hari itu, tanggal 29 Juni 1948, adalah hari raya penting Gereja, dan “dipandang sebagai tanggal permulaan dibukanya (dimulainya) sekolah seminari menengah”. Dalam bahasa yang lebih mudah disebut “tanggal pendirian”. Kenyataannya, tanggal itu bukanlah tanggal yang ditetapkan melalui suatu dekrit, tetapi “tanggal providensial”, yang dipilih untuk dikenang karena nilainya yang providensial, “Allah sendiri yang menyelenggarakan”. Maka dalam Pedoman Seminari saya katakan: “de facto Seminari ‘didirikan tanpa peresmian’”.

Hal lain yang penting untuk dicatat dalam peristiwa ini adalah asal-usul para seminaris: “Mereka adalah pelajar-pelajar SMP di Yogyakarta, Kediri, Blitar dan Madiun”. Keragaman asal paroki ini kiranya memberi gambaran tentang koordinasi pastoral yang dijalankan oleh Rm. Dwidjo selaku Delegatus Vicarius, termasuk dalam memupuk panggilan dan memberi perhatian pada calon imam di wilayah Republik. Namun ditinjau dari sisi yang lain, justru keberagaman asal paroki ini menunjukkan bahwa dalam seluruh peristiwa kita tidak hanya bertemu dengan satu tokoh yang bekerja seorang diri saja. Peristiwa ini adalah buah dari suatu karya yang terkoordinasi di antara para imam di paroki-paroki Kediri, Blitar dan Madiun, bahkan dengan romo-romo di Yogyakarta, dengan Rm. Dwidjo sebagai pelaku utamanya.

Meskipun beberapa hal dapat diketahui, masih diperlukan data tentang proses yang akhirnya menghasilkan keputusan membawa para seminaris Vikariat Apostolik Surabaya dari Yogyakarta ke Surabaya. Apakah keputusan ini diambil melalui pembicaraan dengan romo-romo paroki Kediri, Madiun dan Blitar? Lumrahnya demikian. Tetapi masih diperlukan bukti. Apakah keputusan ini melibatkan Vikaris Apostolik di Surabaya? Ataukah sebutan fait accompli, keadaan memaksa yang harus diterima, berlaku bukan hanya bagi romo-romo di pastoran Kepanjen, tapi juga bagi Mgr. Verhoeks selaku atasannya dan pimpinan Vikariat?  Belum ada bukti untuk memastikan.

Hal lain perlu dicatat berkenaan dengan alasan kepindahan. Pada saat itu di Indonesia terdapat urgensi untuk mendirikan seminari sendiri sebagai prioritas misi. Hal ini dirasakan oleh para misionaris maupun otoritas yang mengutus mereka. Delegatus Apostolik, utusan Paus untuk Indonesia, menurut Rm. Wolters, mendesak semua pimpinan Gereja di Indonesia, “untuk tidak menunda-nunda mendirikan Seminari-Seminari Menengah, di mana belum ada”.

Bagi pimpinan Gereja dan misionaris di Vikariat Apostolik Surabaya, desakan ini tentu menguatkan urgensi untuk segera menyelenggarakan seminari di Surabaya. Urgensi ini sendiri dirasakan oleh Mgr. Verhoeks selaku Vikaris Apostolik, sehingga ia memprioritaskan pendirian seminari  menengah sendiri begitu ia ditetapkan sebagai Prefek Apostolik tahun 1938.

Dalam Sejarah Gereja Katolik, hlm. 977 tertulis: “Dalam laporan pertamanya kepada Propaganda Fide tanggal 18-10-1938 Prefek Verhoeks mengemukakan rencana, untuk membuka seminari menengah sendiri ‘seperti sudah saya terangkan dalam surat saya tanggal 15 September yang lalu’. Tetapi dalam tahun 1941 Mgr. Verhoeks terpaksa mengabarkan, bahwa rencana tersebut tidak jadi dilaksanakan, ‘Sebab imam-imam baru yang mestinya datang dari Negeri Belanda, di antaranya seorang imam Jawa, tidak dapat berangkat meninggalkan Nederland.’”

Para imam tersebut tidak dapat berangkat karena di Eropa Perang Dunia II telah berkobar. Jerman menginvasi Belanda dan Belanda menyerah tanggal 15 Mei 1940, setelah pengeboman Rotterdam. Dari para imam tersebut, “di antaranya seorang imam Jawa”. Pasti yang dimaksud adalah Rm. I. Dwidjosoesastro, yang masuk CM tanggal 7 September 1933 dan ditahbiskan tanggal 21 Juli 1940 di Helden-Panningen. Rupanya sejak sebelum tahbisan ia telah menjadi bagian dalam rencana Mgr. Verhoeks berkenaan dengan pendirian seminari.

Masih dalam laporan yang sama Mgr. Verhoeks menambahkan: “Siswa-siswa seminari kita mengikuti pelajaran di seminari Mertojudan dan Yogyakarta”. Sementara Rm. Boonekamp berkata: “Sementara itu Surabaya ikut memberi sumbangan cukup banyak bagi pembiayaan ongkos-ongkos pemeliharaan seminari Mertojudan”.

Jadi sebelum Jepang masuk ke Indonesia sudah terdapat seminaris dari Vikariat Apostolik Surabaya yang dibina di Seminari Menengah Mertoyudan dan Seminari Tinggi Yogyakarta, yang oleh Mgr. Verhoeks disebut “siswa-siswa seminari kita”.  Mereka juga merupakan tanggung jawab Vikariat Apostolik Surabaya, karena itu “Surabaya ikut memberi sumbangan cukup banyak bagi pembiayaan ongkos-ongkos pemeliharaan seminari  Mertojudan”.

Dengan data di atas, dapat diduga bahwa pada masa perang kemerdekaan itu para seminaris, baik Seminari Menengah maupun Seminari Tinggi, juga berada di bawah tanggung jawab Vikariat Apostolik Surabaya. Lima pemuda yang “diboyong” ke Surabaya adalah seminaris Vikariat yang diurus oleh Rm. Dwidjo, sebagai Utusan Vikaris yang dapat bergerak leluasa sampai Yogyakarta.

Dengan data di atas, kita bisa bertanya tentang hal yang lebih praktis soal penyelenggaraan pembinaan. Mungkinkah ditariknya para siswa dari Yogyakarta juga terkait dengan persoalan praktis, misalnya masalah ekonomi atau pembiayaan? Atau terkait masalah keamanan dan ketenangan belajar, karena Yogyakarta saat itu merupakan sasaran serangan militer Belanda? Bagaimanapun hal-hal di atas layak dipertimbangkan.

Permasalahan-permasalahan di atas mungkin bisa dipikirkan sendiri oleh Rm. Dwidjo. Tetapi bisa juga diperlukan konsultasi. Artinya, terbuka kemungkinan adanya diskusi antara Rm. Dwidjo dengan rekan imam di wilayah Republik, atau dengan penanggung jawab Seminari di Yogyakarta, bahkan dengan Mgr. Verhoeks sendiri, hingga akhirnya semua seminaris Vikariat Apostolik Surabaya dibawa oleh Rm. Dwidjo “bedol deso” dari Yogyakarta menuju Surabaya.

Dengan beberapa pertanyaan dan kemungkinan di atas, tampak bahwa berbagai aspek kepindahan seminaris Vikariat Apostolik Surabaya dari Yogyakarta ke Surabaya tahun 1948 itu belum sepenuhnya terjelaskan. Kita belum menangkap penuh aspek subjektif tokoh-tokohnya, terutama intensi dan pertimbangan yang mendasari keputusan mereka. Belum cukup  teridentifikasi faktor-faktor objektif dan kondisi konkret-nyata yang mempengaruhi keputusan berdirinya seminari sendiri. Terakhir, masih dibutuhkan lebih banyak data untuk menjelaskan proses munculnya keputusan itu serta bagaimana  dinamika realisasinya dalam tahapan-tahapan waktu.

 

Delegatus Vicarius

Meskipun ditahbiskan tanggal 21 Juli 1940, Rm. Dwidjo baru bisa masuk ke Indonesia akhir Mei 1946. Awal Juni 1946 ia berangkat ke Kediri sebagai Delegatus Vicarius (Wakil Vikaris) untuk wilayah yang dikuasai oleh pejuang Republik. Setelah PD II memang terjadi konflik antara kaum Republik dan Belanda. Kota Surabaya dan sekitarnya diduduki oleh pasukan Belanda, dan wilayah di luarnya dikuasai oleh pejuang Republik. Karena penempatan imam-imam Belanda di wilayah Republik amat berisiko, maka sebagian besar imam Belanda  akhirnya ditarik ke Surabaya.

Rm. Boonekamp dalam Sejarah Gereja Katolik, hlm. 979-980 menyajikan laporan Mgr. Verhoeks kepada Paus pada tanggal 8 Maret 1947 tentang keadaan itu: “Akhir September hampir semua misionaris sudah dibebaskan kembali. Masing-masing kembali ke tempat pekerjaannya dahulu sebelum perang. Mereka mulai bekerja lagi, meskipun banyak di antara mereka itu, yang sebenarnya sangat membutuhkan istirahat, karena sangat lemah dan letih. Tetapi tak lama kemudian di antara kita banyak yang masuk tahanan lagi, sekarang tahanan barisan revolusioner, berhubung dengan pecahnya revolusi: 4 misionaris di Surabaya, 4 di Madiun, 3 di Blitar, 3 di Kediri dan 1 di Mojokerto. Di antara mereka itu - yang disebutkan pertama - hanya ditahan selama 1 bulan, sedang yang lainnya sampai 1 tahun baru dibebaskan kembali. Dua orang misionaris dengan suka rela tetap tinggal di Madiun dan seorang lagi di Blitar”.

Selain ketiga misionaris Belanda di Blitar dan Madiun, bersama Rm. Dwidjosoesastro terdapat Rm. Dibjokarjono dan Rm. Hadisoedarso. Mereka adalah romo-romo projo Vikariat Apostolik Surabaya yang dibina di Seminari Tinggi untuk calon projo di Yogyakarta. Mereka ditahbiskan oleh Mgr. A. Soegijapranata, SJ, masing-masing pada tahun 1945 dan 1946. Rm. Dibjo bertugas di Blitar, dan Rm. Hadi bertugas di Kediri bersama dengan Rm. Dwidjo.

Kombinasi misionaris dan imam muda dari wilayah Vikariat Apostolik Surabaya sendiri ini belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga untuk sesaat kita melihat suatu periode baru karya misi, yang mengandalkan tenaga imam dari Vikariat sendiri. Rm. Dwidjo, yang paling senior di antara imam-imam muda, sebagai Delegatus Vicarius praktis menjadi tangan kanan Mgr. Verhoeks dalam menggembalakan umat dan mengkoordinasi pastoral di wilayah yang sulit dijangkaunya.

Menurut Rm. Boonekamp dalam Sejarah Gereja Katolik, hlm. 980, pada tanggal 8 Maret 1947 Mgr. Verhoeks melaporkan kepada Paus: “Mengenai stasi-stasi misi yang dipimpin dan dilayani imam-imam pribumi dapatlah kita laporkan, bahwa mereka itu dapat menunaikan tugas rohani mereka dengan kebebasan agak lumayan.” Informasi ini rupanya disusun berdasar laporan  yang dikirimkan oleh Rm. Dwidjosoesastro, kira-kira dalam bulan Oktober 1946.

Laporan itu disajikan oleh Rm. Boonekamp dalam Sejarah Gereja Katolik, hlm. 982-983:

“Di Madiun pastor van Goethem dan Smets sehat; di dalam kota bebas bergerak dapat mengadakan perjalanan dinas di wilayah Karesidenan, hidup dari hasil jual barang; di dalam kota satu perayaan misa, dua sekolah.”

Blitar: Kock sehat, boleh menjalankan dinas luar, tetapi ambil kebijaksanaan tidak melakukan, tinggal di susteran, pastoran masih dipakai (diduduki); gereja dapat dipakai, tapi tanpa listrik; Pastor Dibjakarjana ke Yogya lagi untuk diperiksa, biasanya tinggal di klinik Blitar; usaha: pertanian sederhana, beberapa sekolah, pelajaran-pelajaran privat tambah klinik, selanjutnya tanpa pembantu.”

Kediri: pastor Hadi sehat, kerja keras, dinas luar ke mana-mana, kecuali Madiun dan Blitar, jika pastor Dibja dapat, mana-mana sekali sebulan, juga ke Jombang dan Cepu sekali sebulan; dinas luar 3 minggu atau lebih; hidup katolik mulai bangkit kembali; retret Pohsarang 22 orang pengikut. Frater-frater: sekolah 6 kelas penuh. Satu sekolah MULO (SMP) Katolik, murid 100 lebih, diusahakan orang-orang katolik gotong-royong; kurang uang, dua orang katekis, gaji terlalu rendah; umat pengunjung gereja kurang pakaian; gereja-gereja bebas kecuali Nganjuk, tapi kosong tanpa isi, dipelihara umat, uang tak ada untuk memperbaiki; fonds misi untuk seluruh daerah, pusat Kediri (Robiman).”

Pengeluaran: pastor-pastor hidup sederhana, guru-guru agama, sekolah-sekolah, ongkos liburan dan bayaran sekolah bagi 2 siswa seminari menengah Ganjuran, ongkos liburan 2 siswa seminari tinggi Mertojudan, perjalanan dinas dan kebutuhan gereja.”

Terlihat bahwa seluruh wilayah di dalam tanggung jawabnya sebagai Delegatus Vicarius telah dikunjungi oleh Rm. Dwidjo, dan situasi masing-masing telah dicatat. Juga diurus “2 siswa seminari menengah Ganjuran dan 2 siswa seminari tinggi Mertojudan”, yang tentunya berasal dari Vikariat Apostolik Surabaya. Untuk siswa seminari menengah terdapat pengeluaran untuk “ongkos liburan dan bayaran sekolah”, dan untuk 2 siswa seminari tinggi “ongkos liburan”. Jadi karena bertugas sebagai Delegatus Vicarius, Rm. Dwidjo berurusan langsung dengan siswa-siswa seminari menengah dan seminari tinggi dari Vikariat Apostolik Surabaya.

Untuk saat ini kita belum menemukan laporan yang menjelaskan bagaimana Rm. Dwidjo, setelah laporannya yang pertama pada bulan Oktober 1946, menjalankan tugas-tugas koordinasinya. Namun terdapat laporan bulan September 1948 dari Rm. Smets di Madiun. Dilihat dari tanggal penulisannya, yaitu September 1948, laporan ini dibuat tak lama setelah para siswa seminari diboyong “bedol deso” oleh Rm. Dwidjo dan tiba di Surabaya tanggal 29 Juni 1948.

Dalam laporannya Rm. Smets menyampaikan keadaan yang terjadi di Madiun kepada Mgr. Verhoeks: “Mengenai pekerjaan kita selama tahun-tahun terakhir ini tentunya pastor Dwidja sudah menulis laporan lengkap: pokoknya yang penting ialah mempertahankan apa yang sudah ada (katolik) dan meluruskan yang menyeleweng. Sebenarnya saya sendiri ingin datang (ke Surabaya), sebab banyak hal-hal yang perlu dibicarakan. tetapi belum tentu saya nanti dapat kembali, maka itu untuk sementara lebih baik keinginan itu kita tangguhkan dulu.”

Dari ungkapan di atas tampak bahwa Rm. Dwidjo menjalankan tugasnya sebagai Delegatus Vicarius: mengunjungi Madiun dan “menulis laporan lengkap”. Delegatus, selain berurusan dengan bawahan yang harus dikoordinasi, juga berurusan dengan atasan yang harus memperoleh laporan tentang hal-hal yang dipercayakan. Karena Rm. Dwidjo “menulis laporan lengkap”, harus diandaikan bahwa ada koordinasi antara dirinya dan Mgr. Verhoeks, juga meskipun komunikasi antara daerah Republik dan daerah pendudukan Belanda sulit dilakukan.

Dengan data-data di atas, dapat disusun sedikit lebih jelas posisi Rm. Dwidjo dalam pendirian Seminari Menengah di Surabaya. Khususnya bahwa hal yang ia lakukan terkait para siswa seminari dan calon siswa ia lakukan dalam tanggung jawabnya selaku Delegatus Vicarius bagi Mgr. Verhoeks di wilayah Republik. Selanjutnya, meski Rm. Smets tidak menyinggung “berdirinya Seminari” tanggal 29 Juni 1948, kecil kemungkinan ia tidak mengetahui hal itu, atau “terkejut” seumpama mendengarnya, seperti dialami oleh konfraternya di Paroki Kepanjen, Surabaya. Belum ada bukti yang memastikan bahwa rencana kepindahan ini sudah diketahui oleh Mgr. Verhoeks, atau diputuskan bersama dengannya, tetapi laporan Rm. Smets memberi gambaran bahwa Rm. Dwidjo selaku Delegatus Vicarius tidak bertindak seorang diri.

Kita boleh memastikan bahwa Rm. Dwidjo memandang pembinaan calon imam sebagai hal penting. Juga boleh dipastikan bahwa beliau memandang penting adanya seminari di Surabaya. Tentu ia mengetahui bahwa rencana pendirian seminari telah dimiliki oleh para misionaris sejak semula, termasuk oleh Mgr. Verhoeks, yang berencana sejak awal tugasnya tahun 1938. Apalagi kini urgensinya ditegaskan oleh Utusan Paus. Sementara secara sosial-politik dan keamanan kondisi di Yogyakarta bukanlah kondisi ideal untuk pembinaan. Maka kedatangannya bersama para calon imam tanggal 29 Juni 1948 menjadi bukti nyata adanya kesadaran bahwa pembinaan calon imam harus diselenggarakan di Surabaya. Adanya seminari di Surabaya merupakan proyek yang harus direalisasi. Karena itu ia datang ke Surabaya bersama dengan kawanan kecil seminarisnya.

Bisa dibayangkan bahwa para imam di wilayah Republik sekurang-kurangnya mengetahui rencana ini. Mungkin hal ini diputuskan bersama dengan mereka. Yang pasti, pemberangkatan ke Surabaya memerlukan koordinasi dengan para imam di paroki-paroki, karena para siswa tidak hanya berasal dari paroki tempat Rm. Dwidjo bertugas, melainkan juga dari Blitar dan Madiun.

Belum ada bukti tentang ada atau tidaknya koordinasi antara Rm. Dwidjo dan Mgr. Verhoeks  tentang kepindahan tempat pembinaan calon imam dari Yogyakarta ke Surabaya. Sebagai Utusan Vikaris, lumrahnya ia menjalin komunikasi dan berkoordinasi dengan pimpinannya untuk hal sepenting ini. Kalau toh tidak ada koordinasi sebelumnya, kiranya ada kesadaran gerejawi yang wajar, bahwa seorang Delegatus tidak akan melakukan sesuatu selain yang dikehendaki oleh, dan yang sesuai dengan kehendak, atasan yang diwakilinya.

Jadi, apakah Rm. Dwidjo datang ke Surabaya atas prakarsa pribadi, ataukah ia, sebagai Utusan Vikaris di wilayah Republik yang subur panggilannya, justru sedang merealisasi kehendak Vikaris? Apakah setelah tiba di Kepanjen ia langsung kembali ke Kediri, ataukah menghadap Vikaris Apostolik, Mgr. Verhoeks, di Coen Boelevard? Atau justru sebelum tiba di Kepanjen ia mampir lebih dahulu di Coen Boelevard, ke Mgr. Verhoeks?

Jelas, terjadi keterkejutan di Pastoran Kepanjen karena fait accompli yang dibuat oleh Rm. Dwidjo, sebagaimana dilaporkan oleh Rm. Wolters sebagai saksi mata karena tinggal di Kepanjen. Tetapi apakah itu cukup untuk menjelaskan apakah Mgr. Verhoeks, Vikaris Apostolik di Coen Boelevard, turut terkejut dengan adanya peristiwa itu?

Saat menulis Pedoman Seminari, saya berpikir bahwa Mgr. Verhoeks tidak ikut dalam rencana kepindahan itu, dan “turut terkejut” atas kedatangan para calon imamnya. Di Pedoman Seminari tertulis: “Kedatangan Perintis dan para ‘seminaris awal’ yang mengejutkan ini mendapat sambutan positif dari para imam dan Vikaris Apostolik di Surabaya, hingga selanjutnya tanggal 29 Juni 1948 itu dinyatakan sebagai hari berdirinya Seminari.” Toh, bagaimanapun, masih diperlukan bukti untuk menegaskan adanya keterkejutan Mgr. Verhoeks itu.

Di atas semuanya, yang penting untuk digarisbawahi adalah dedikasi dan peran Rm. Dwidjo sendiri dalam mengurus calon imam bagi Vikariat Apostolik Surabaya sejak kedatangannya di Indonesia, yang berpuncak pada pendirian Seminari Menengah di Surabaya. Bahkan dedikasi dan peran itu tidak selesai dengan menyerahkan para siswa kepada konfrater di Surabaya. Ketika perannya sebagai Delegatus Vicarius pada tahun 1949 sudah tidak diperlukan karena keamanan sudah terjamin dan Mgr. Verhoeks dapat berkunjung dengan tenang ke daerah Republik, Rm. Dwidjo diangkat sebagai Pastor Paroki Madiun tanggal 3 Oktober 1949. Di sana ia tetap berkarya di bidang yang amat strategis bagi karya misi, dengan membuat asrama bagi para pemuda yang dipersiapkan untuk masuk ke Seminari Menengah di Surabaya.

 

Mgr. Verhoeks: Pendiri Seminari

Sebagaimana saya katakan, saat mencantumkan Mgr. Verhoeks sebagai “Pendiri Seminari” dalam Pedoman Seminari 2008, saya mengikuti cara yang lazim dalam Gereja. Yaitu bahwa yang mempunyai kapasitas secara kanonik untuk mendirikan seminari adalah uskup. Kalau Rm. Dwidjo disebut sebagai pendiri, kedatangan beliau ke Surabaya bersama para seminaris dan calon seminaris bagaimanapun bukanlah “tindakan pendirian” dalam arti formal atau sesungguhnya.

Dalam perjalanan waktu, tanggal kedatangan Rm. Dwidjo dan para pemuda, yaitu 29 Juni 1948, dalam tradisi Seminari disebut “tanggal pendirian”. Peristiwanya sendiri menurut Rm. Boonekamp merupakan “semacam ‘fait accompli’”, yang “akhirnya membuka jalan ke arah berdirinya sekolah seminari menengah di wilayah keuskupan sendiri.” Ungkapan bahwa peristiwa ini “akhirnya membuka jalan bagi berdirinya sekolah seminari menengah” menunjukkan bahwa pada saat itu tidak ada tindakan formal pendirian institusi, dan sebutan “tanggal pendirian” hanya bernilai simbolik untuk menandai pendirian Seminari yang “didirikan tanpa upacara peresmian”.

Dengan tidak adanya tindakan formal “mendirikan seminari” dari pihak Rm. Dwidjo yang dalam peristiwa itu tampil sebagai pemeran utama, maka tidak cukup dasar untuk mengatribusikan pendirian Seminari kepada Rm. Dwidjo. Khususnya jika kita mengabaikan kapasitas Mgr. Verhoeks selaku Vikaris Apostolik yang berwenang dalam urusan pembinaan calon imam di wilayahnya.

Mgr. Verhoeks sendiri diangkat menjadi Prefek Apostolik Surabaya pada 22 Oktober 1937. Ia tiba di Surabaya pada tanggal 8 Maret 1938, dan diresmikan sebagai Prefek Apostolik 5 hari kemudian, pada tanggal 13 Maret. Beliau ditahbiskan sebagai Uskup pada tanggal 8 Mei 1942 oleh Mgr. Soegijapranata, SJ, dengan uskup ko-konsekrator Mgr. Albers, Vikaris Apostolik Malang, dan Mgr. Kusters, Prefek Apostolik Banjarmasin. Pentahbisan ini dilakukan seiring dengan perubahan status Prefektur Apostolik Surabaya menjadi Vikariat Apostolik.

Kehendak Mgr. Verhoeks akan adanya seminari menengah di wilayah yang dipercayakan kepadanya sudah ada sejak semula, tahun 1938. Hal itu dikisahkannya kepada Paus sebagai laporan awal tugasnya sebagai Prefek Apostolik. Keinginan itu terkendala oleh perang yang meletus di Eropa, sehingga imam-imam baru dari Belanda, termasuk Rm. Dwidjo, tidak dapat datang.

Dengan data di atas, terdapat cukup alasan untuk menyebut Mgr. Verhoeks, selaku Vikaris Apostolik, sebagai pendiri Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo. Ialah yang memiliki wewenang atas siswa seminari. Ia berwewenang memutuskan di mana Seminari hendaknya didirikan. Ia memutuskan siapa yang ditugasi membina sebagai rektor, pengajar dan sebagainya.  Misalnya Rm. Dwidjo melakukan fait accompli terhadap atasannya, fait accompli itu tidak meniadakan wewenang Mgr. Verhoeks untuk suatu pendirian seminari dan segala yang perlu untuk penyelenggaraannya. Apalagi peristiwa fait accompli itu terjadi di kota Surabaya yang jelas ada dalam jangkauan dan kendalinya, maka sewajarnya dialah yang mengatur dan memutuskannya.

Delapan bulan setelah peristiwa itu, tanggal 25 Februari 1949, seminari kecil di Jl. Kepanjen 9 dipindah ke suatu rumah di Jl. Dinoyo 42. Menurut Rm. Wolters dalam John Tondowidjojo, Historiografi Keuskupan, hlm. 154-155, rumah itu merupakan “gedung besar dengan kebun dan halaman yang luas”. Dahulu rumah itu merupakan “besaran”, tempat tinggal tuan besar, dengan pohon beringin besar di depannya. Ketika dibeli dan beralih menjadi milik Vikariat, rumah itu sudah tidak terpakai. Di situ rencananya berdiri gedung Hogere Burger School (HBS) Katolik. Rencana itu batal karena perang. Akhirnya tanah itu diperoleh kembali oleh Mgr. Verhoeks pada tahun 1948, setelah sebelumnya dijadikan “kamp untuk pengungsi; sampai sejumlah 120 orang mendapatkan tempat tinggal di situ di gedung utama dan bangunan samping”.

Rumah itu diperbaiki dan digunakan untuk Seminari Menengah. Di titik ini terlihat jelas peran Mgr. Verhoeks dalam mengatur pendirian Seminari, sesuai norma yang berlaku saat itu, yaitu KHK 1917 Kan. 1354 - par. 1. Pilihan tempat yang strategis sekaligus menegaskan kehendak beliau untuk suatu seminari yang bermutu di Vikariatnya. Rm. Wolters berkata: “Rumah tersendiri untuk para misionaris masa depan! Delegat Apostolik, yang tidak lama berkenan mengunjunginya, sangat gembira tentang rumah dan pengaturannya. Beliau berpendapat bahwa ini nyaris awal yang lux!”

Selain keseriusan Mgr. Vehoeks dalam memilih tempat bagi seminari baru, Rm. Wolters menampilkan sisi lain pendirian seminari, yaitu hadirnya “Delegat Apostolik, yang tidak lama berkenan mengunjunginya”, yang “sangat gembira tentang rumah dan pengaturannya”. Ungkapan ini menyiratkan bahwa pendirian seminari juga merupakan prioritas Kongregasi Propaganda Fide, yang direpresentasikan oleh Delegatus Apostolik, Mgr. Georges de Jonghe d’Ardoye, MEP.

Menurut Jan Bank, Katolik di Masa Revolusi Indonesia, Jakarta: Grasindo 1999, hlm. 394-395  Mgr. de Jonghe d’Ardoye diangkat menjadi Delegatus Apostolik atas pemohonan para para waligereja Hindia Belanda/Indonesia, dan tiba di Jakarta pada 27 Juni 1947. Sebagai Delegatus Apostolik ia tak memiliki status diplomatik. Dalam suasana perundingan-perundingan dan transisi politik disertai konflik bersenjata antara pihak Republik dan Belanda, ia diharapkan berposisi netral dan hanya berwenang mengawasi kehidupan Gereja dan kebijakan uskup setempat.

Setelah penyerahan kedaulatan secara resmi oleh Belanda kepada Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Vatikan mengakui RIS. Pada 12 Januari 1950 Delegatus Apostolik Mgr. de Jonghe d’Ardoye diangkat menjadi internunsius, yang memiliki wewenang diplomatik. Menilik sebutannya masih sebagai “Delegatus Apostolik”, bisa dipastikan bahwa kunjungan Mgr. de Jonghe d’Ardoye ke seminari Jl. Dinoyo 42 terjadi sebelum pengangkatannya sebagai Internunsius tanggal 12 Januari 1950. Kunjungan yang dilakukan tak lama setelah seminari berada di tempat baru ini menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap pendirian seminari.

Yang pasti, perhatian Mgr. de Jonghe d’Ardoye pada pembinaan calon imam di Indonesia tidak hanya terbukti dari kunjungannya ke Surabaya. Perhatian itu tampak dalam keputusan Vikaris Apostolik Medan, Mgr. Mathias Brans OFMCap untuk membuka pusat pembinaan imam yang lengkap di kota Padang, September 1949. “Keputusan itu diambil atas desakan Duta Vatikan di Jakarta, Mgr. de Jonghe d’Ardoye”, meskipun “banyak pastor berpendapat bahwa tindakan itu premature”. Demikian https://www.schoolandcollegelistings.com/ID/Pematangsiantar/224119064272358/SMA-Seminari-Menengah-Christus-Sacerdos pada 21-5-2018.

Mengenai Seminari Menengah Stella Maris Bogor dikatakan: “Atas anjuran Mgr. de Jonghe d'Ardoye, Nunsius Apostolik untuk Indonesia saat itu, agar setiap Keuskupan atau Perfektura mempunyai sebuah seminari menengah sendiri, maka pada tahun 1950 diadakan rapat Bandung. Dalam rapat tersebut diumumkan bahwa akan didirikan seminari menengah di Cicurug. Seminari menengah itu resmi didirikan pada tanggal 28 November 1950 oleh Mgr. N.Geise OFM yang saat itu menjabat sebagai Perfek Apostolik pada Perfektur Sukabumi.” Demikian http://delarista.blogspot.co.id/2010/03/ pada 21-5-2018.

Kisah lain menggambarkan semangat pendirian seminari-seminari di Indonesia saat itu. “Pada audiensi Mgr. N.M. Schneiders, CICM kepada Bapa Suci Pius XII di Tahta Suci, Vatikan pada 19 Maret 1949, sang Uskup mendapat pertanyaan dari Sri Paus, ‘Apakah sudah dilangsungkan pendidikan seminari di wilayah Keuskupan Anda?” Mgr. N.M. Schneiders, CICM menjawab, “Seminari belum dirasakan perlu didirikan mengingat jumlah umat Katolik setempat belum melebihi dua ribu orang dan apalagi kebanyakan umat adalah kaum muda.’ Tetapi, sepulangnya dari Vatikan, Uskup Schneiders yang memandang pertanyaan Paus itu sebagai perintah, langsung memohon kesediaan Pater Albert Raskin, CICM untuk membuka asrama bagi para siswa yang bercita-cita menjadi imam. Atas perintah Uskup, pada bulan Agustus 1951, asrama yang menjadi cikal bakal Seminari itu mulai dibangun di Kota Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja. Pada tahun April 1953 seminari dipindahkan ke kota Makassar karena alasan keamanan”. Demikian https://seminarisantopetrusclaver.wordpress.com/sejarah-singkat-spc/ pada 21-5-2018.

Kisah-kisah di atas menjelaskan konteks gerejawi berdirinya Seminari di Surabaya secara lebih utuh. Karya keperintisan Rm. Dwidjo, di satu sisi, merupakan anugerah penyelenggaraan ilahi bagi Vikariat Apostolik Surabaya, khususnya untuk pendidikan calon imam secara stabil dan permanen melalui seminari yang didirikan di Surabaya. Di sisi lain, karya itu berlangsung di tengah perjuangan Gereja Indonesia di awal kemerdekaan untuk mandiri, yang terepresentasikan dalam kisah-kisah dan tokoh-tokoh pendirian seminari di atas.

Berkenaan dengan Mgr. Verhoeks, khususnya tentang perannya dalam peristiwa 29 Juni 1948, belum ditemukan data historis yang membantu memastikan, apakah beliau ter-fait accompli oleh Rm. Dwidjo, ataukah tindakan Rm. Dwidjo justru dilakukan untuk merealisasi kehendak Mgr. Verhoeks. Lepas dari persoalan itu, kita tetap dapat, dan sudah selayaknya, menyebut beliau sebagai “Pendiri Seminari”, mengingat kelaziman dalam praktik menggereja, yang diteguhkan oleh kehendak beliau sendiri akan hadirnya seminari di Vikariat yang dipimpinnya.

Bahkan sebutan Mgr. Verhoeks sebagai “Pendiri Seminari”, sesungguhnya bukan temuan baru, sebab sebutan itu sudah sejak semula disandangkan pada beliau. Sebutan itu terdapat dalam naskah sambutan Mgr. de Jonghe d’Ardoye, sesaat setelah mentahbiskan Mgr. J. Klooster, CM sebagai Uskup pada tanggal 1 Mei 1953, bersama ko-konsekrator Mgr. Mgr. A. Soegijapranata, Uskup Agung Semarang, dan Mgr. A. Djajasepoetra, Uskup Agung Jakarta.

Dalam “Discours pour le Sacre de S.E. Mgr. J. Klooster” (Sambutan Tahbisan Y.M. Mgr. J. Klooster), dalam folder A.211 - Secretaria Status, Arsip Keuskupan Surabaya, ia berkata: “Saat upacara tahbisan, khususnya saat mengenang mereka yang telah meninggal, pikiran saya tak henti-hentinya tertuju kepada pendahulu Anda yang patut dihormati, Yang Mulia Mgr. Verhoeks, yang bagi saya bukan hanya Gembala Vikariat Surabaya, tetapi seorang teman. Pidato pujian baginya telah diberikan, dan hanya dapat saya ulangi apa yang telah dikatakan dan dituliskan tentang dia sebaik mungkin. Saya berharap Yang Mulia terus mengikuti jejak-jejaknya, selalu memancarkan senyum di tengah-tengah kecemasan, selalu mengarahkan pandangan ke langit, dari mana datang rahmat ilahi dan penghiburan bagi kita. Mgr. Verhoeks adalah pendiri Seminari Kecil, karya terpenting di suatu Vikariat. Mengikuti tradisi tiga abad di antara Imam-imam Misi, saya yakin, Yang Mulia akan terus mengembangkan apa yang telah ada.”

(Aslinya berbunyi: “Pendant la cérémonie du sacre, et spécialement pendant le Memento des morts, je n'ai cessé de penser à Votre vénéré prédécesseur, S.E. Mgr. Verhoeks, qui fut pour moi non seulement le Pasteur du Vicariat de Surabaja, mais un ami. Son éloge a déjà été fait, et je ne pourrais que répéter ce qui a été dit et écrit sur lui avec tant de compétence. Je souhaite, que Votre Excellence continue de marcher sur ses traces, gardant toujours le sourire au milieu des tracas, conservant toujours les yeux tournés vers le ciel, d'où nous viennent la gràce divine et les consolations. Mgr. Verhoeks fut le fondateur du Petit Séminaire, oeuvre la plus importante dans un Vicariat. Votre Excellence, suivant la tradition trois fois séculaire parmi les Prêtres de la Mission, continuera, j'en suis certain, à développer ce qui existe déjà.”).

Secara eksplisit Mgr. de Jonghe d’Ardoye menyebut Mgr. Verhoeks sebagai le fondateur du Petit Séminaire, “Pendiri Seminari Menengah”. Sebutan itu kiranya ia sampaikan di hadapan hadirin, dan tentunya didengar dan dipahami maksudnya oleh Mgr. Klooster dan hadirin saat itu, termasuk kiranya Rm. Dwidjosoesastro dan para romo yang lain. Barangkali Mgr. de Jonghe d’Ardoye tidak mengetahui secara lengkap kisah di balik pendirian seminari, yang melibatkan Rm. Dwidjo sebagai pemeran penting. Tetapi sebutan le fondateur du Petit Séminaire yang ia berikan kepada Mgr. Verhoeks kiranya tidak disangkal pula oleh siapapun saat itu.

Mgr. Verhoeks sendiri meninggal setahun sebelum tahbisan Mgr. Klooster itu, yaitu pada tanggal 8 Mei 1952: 4 tahun setelah pendirian Seminari, dan tepat 10 tahun setelah ia menerima tahbisan Uskup pada tanggal 8 Mei 1942. Kedekatan Mgr. de Jonghe d’Ardoye sebagai imam MEP (les Missions Etrangères de Paris) dengan imam-imam CM pada umumnya, dan secara khusus dengan imam-imam CM di Surabaya saat ia bertugas di Indonesia, tergambarkan dalam kata sambutan tersebut, dan itu ia sampaikan dengan beberapa ungkapan. Dalam suasana hati yang dekat dan personal, sebutan “Pendiri Seminari Menengah, karya terpenting di suatu Vikariat” yang dikenakan pada Mgr. Verhoeks kiranya disampaikannya dengan suatu kecintaan. Sebutan itu kiranya masih berlaku sekarang, saat Seminari ini memasuki usianya yang ke-70 tahun.

 

 

Surabaya, 22 Mei 2018

Rm. Petrus Canisius Edi Laksito